BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah Bani Umayyah tak dapat dilepaskan dari sejarah
sebelumnya, yaitu krisis kepemimpinan yang melanda umat Islam pasca-terbunuhnya
Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sejarah mencatat bahwa setelah terbunuhnya
khalifah Utsman, bibit konflik mulai muncul. Umat Islam mulai mengalami konflik
internal antara beberapa faksi yang ada, seperti perang Jamal antara faksi
ummul mu’minin Aisyah dan Zubair bin Awwam r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga
terjadi pada perang Shiffin antara Muawiyah dengan Ali.
Menarik untuk dicermati, konflik ini bermuara pada aktivitas
pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah Utsman di akhir
kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam terfaksionalisasi
menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok ‘Aisyah r.a., kelompok Ali, dan
kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di Syam (Syria dan
sekitarnya). Faksionalisasi ini pada gilirannya melahirkan pergumulan politik
yang begitu tajam hingga beberapa periode khilafah di era Dinasti Umayyah.
Pada perang Shiffin, ada dua golongan yang berseteru akibat
krisis kepemimpinan tersebut, yaitu golongan khalifah Ali dan golongan
Muawiyah. Golongan Muawiyah yang mempertanyakan legitimasi politik dari
Khalifah Ali menyusun kekuatan, ditambah dukungan dari Amr bin Ash yang menjadi
gubernur Mesir. Sementara itu, golongan Ali tidak merespons gerakan yang
dibangun oleh Muawiyah, sehingga kedua belah pihak sama-sama show of force di
Shiffin, tepi Sungai Jordan.
Perang Shiffin ini kemudian melahirkan gagasan untuk
bertahkim, yaitu mengangkat sumpah di hadapan Al-Qur’an dan atas nama Allah
bahwa kedua belah pihak akan melepaskan diri dari kekuasaan dan akan
menyerahkan kepemimpinan pada umat. Pada saat itu, golongan khalifah Ali ra
menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari, seorang dari Bani Abdus shams dan muhajirin yang
termasuk golongan awal masuk Islam. Sementara itu, golongan Muawiyah menunjuk
Amr bin Ash sebagai negosiator. Amr bin Ash sendiri juga adalah muhajirin dan
merupakan panglima umat Islam ketika tentara muslimin menaklukkan Mesir di era
Khalifah Umar bin Khattab.
Peristiwa tahkim tentu saja sangat diingat karena mengubah
sejarah pada waktu itu. Golongan Ali menerima usulan dan segera melepaskan
kepemimpinan. Akan tetapi, Amr bin Ash ternyata menyatakan melepaskan
kepemimpinan dan ternyata, di luar dugaan Amr bin Ash menyatakan bahwa Khalifah
yang sah adalah Muawiyah. Karena hal ini adalah sumpah, maka sebagai konsesi
Khalifah Ali membagi wilayah menjadi dua: Wilayah Hijaz, Yaman, dan Nejd
(Semenanjung Arabia) menjadi kekuasaan Ali, sementara Syam dan Mesir di bawah
Muawiyah.
Ternyata, hasil konsesi tersebut menimbulkan implikasi
lanjutan berupa terfragmentasinya kekuatan Ali menjadi tiga: Syiah, Khawarij,
dan kelompok yang setia dengan khalifah Islam. Dua kelompok pertama kemudian
bertransformasi menjadi faksi teologis dan tidak lagi berafiliasi kepada
kekuatan umat yang utama pada waktu itu. Pada perkembangannya, kelompok
Khawarij melakukan tindakan takfir kepada tiga tokoh umat yang berkonflik pada
waktu itu: Ali, Muawiyah, dan Amr bin Al-Ash. Kelompok ini akhirnya mengutus
pengikutnya untuk membunuh ketiga orang tersebut, namun hanya Ali yang berhasil
dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam di Kufah, selepas Shalat Subuh.
Meninggalnya Ali kemudian berimplikasi pada vacum of power di tubuh umat Islam.
Orang-orang Hijaz mengangkat bai’at kepada Hasan bin Ali, tetapi Hasan menolak
bai’at dan membuat perjanjian dengan Muawiyah. Isi perjanjian tersebut salah
satunya adalah mempersilakan Muawiyah untuk menjadi khalifah, tetapi dengan
catatan Muawiyah menghentikan sikapnya untuk mencaci-maki Ali di mimbar Jum’at.
Sebagai
implikasinya, kedudukan Muawiyah bertambah kuat hingga akhirnya ia berhasil
mengonsolidasi kekuatannya dengan mendirikan Dinasti Umayyah. Fase ini menjadi
era baru bagi pergantian kepemimpinan di tubuh umat Islam waktu itu.
Sebelum
membahas Dinasti Umayyah penulis sedikit membahas mengenai khawarij dan syiah,
karena kedua kelompok ini banyak mengadakan perlawanan atau pemberontakan yang
sering kali menggoyahkan Dinasti Umayyah.
Pertama Khawarij,
bagi khawarij ada dua hal yang penting yang menjadi pandanganya, yakni politik
dan keagamaan. Di bidang politik Khawarij memiliki pemahaman, seorang khalifah
harus dipilih langsung oleh rakyat, baik dari bangsa Arab atau ‘ajam (non
arab). Mereka berusaha mengeliminir keutamaan arab atau non arab, bahkan
sebagian mereka berpendapat bahwa orang ‘ajam lebih baik dari bangsa arab,
bahkan menurut khawarij seorang perempuan pun boleh memegang kekuasaan , jika
memang mampu menyelenggarakan roda pemerintahan dan memenuhhi criteria sebagai
seorang kepala Negara. Dengan demikian, apa yang terjadi diantara Ali dan
Mu’awiyyah merupakan sebuah kesalahan, karena keduanya tidak berangkat dari
“pemilihan” oleh rakyat. Selain itu, khawarij juga meyakini bahwa khalifah
tidak diperlukan, namun cukup dengan badan khusus sebagai penyelenggara
pemerintahan (Rahman, 1977:67-68).
Sementara itu,
dalam pandangan keagamaannya, di antaranya adalah jika seorang muslim tidak
menjalankan shalat, maka ia wajib dibunuh, dan jika seorang yang meninggal
dunia tanpa tobat terlebih dahulu, maka ia akan masuk neraka selamanya. Dengan
demikian, tanpa amal soleh, maka seseorang sama halnya dengan tidak mukmin
(kafir). Sesorang yang tidak bersih hati nuraninya, maka ia termasuk golongan
orang murtad, dan dalam pandanganya seseorang yang demikian itu masuk neraka
selamanya. Pandangan khawarij yang paling mencolok adalah keyakinan bahwa orang
Islam yang tidak menganut ajaran-ajaran mereka tersebut dianggap kafir. Hal ini
mendasari sikap mereka terhadap umat Islam (selain golongan khawarij) keras dan
tegas, sementara dengan non muslim (yahudi dan Nasrani) mereka bersikap lunak.
Mereka beranggapan bahwa Ali, Amr, dan Muawiyah adalah kafir. Karena atas ulah
mereka banyak umat Islam mati di medan konflik yang ada tersebut.
Orang yang
mengikuti Ali dan termasuk bagian yang mengagungkan khalifah Ali kemudian
disebut sebagai Syi’ahtu Ali (pengikut Ali) yang kemudian hari dikenal
dengan kelompok Syi’ah. Mereka kemudian berorientasi politik. Kekuatan
politik tersebut mendudukkan Ali sebagai khalifah, dan tidak pernah mengakui
kekhalifahan sebelumnya. Setelah Nabi wafat, kelompok simpatisan Ali tersebut
tidak mengakui Abu Bakar sebagai khalifah. Menurut mereka Ali adalah keluarga
nabi (Ahl-al Bait) yang paling berhak untuk menjadi khalifah setelah wafatnya
Nabi Muhammad. Setelah Umar I terpilih, mereka kecewa. Terlebih saat Utsman
terpilih mereka tidak bisa terima, maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa
walaupun bibit Syi’ah telah ada saat pemilihan Khalifah Abu Bakar namun dalam
catatan sejarah Islam mulai munculnya syi’ah adalah setelah wafatnya Ali bin
Abu Thalib, dan arena adanya rivalitas politik dari kelompok khawarij.
Orang
Syi’ah mengakui Muhammad sebagai Rasul dan Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu
dari Allah SWT. Imam itu jabatan sacral yang ditentukan oleh Allah dan memiliki
tujuan untuk kesejahteraan umat manusia. bagi mereka Imam merupakan seorang
yang tidak pernah berdosa dan terlindungi (ma’shum), jadi apa yang disampaikan
imam merupakan ucapan Tuhan. Dengan kalimat Syahadat ditambah dengan kalimat
Ali Khalifatullah. Kelompok Syi’ah ekstrem (al-Ghurabiah) percaya , bahwa wahyu
sesungguhnya diturunkan Allah kepada Ali, namu n Jibril keliru menyampaikan,
dan justru kepada Muhammad. Mereka juga mengklaim, bahwa dalam Al-Qur’an
ayat-ayat yang memihak Syiah disembunyikan oleh orang Sunni atau disebarkan
ayat-ayat palsu yang mendiskriditkan Syi’ah. Menurut mereka Al-Qur’an dan
hadis yang diriwayatkan oleh orang Syiah kedudukanya adalah atas segala
ilmu. Oleh karena itu, menurut mereka tidak perlu Ijma dan Qiyas. Salah satu
tuduhan mereka terhadap kelompok Sunni adalah Sunni dianggap menyembunyikan
hadis-hadis yang menjelaskan, bahwa Ali merupakan khalifah setelah Nabi. Syi’ah
menjadi kekuatan politik yang utuh secara “de jure” semenjak terjadinya
peristiwa Karbala pada 10 Oktober 680M.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya
Pemerintah
Bani Umayyah berdiri setelah Khilafah Rasyidah yang ditandai dengan terbunuhnya
Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H / 661 M. pemerintahan mereka dihitung sejak
Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan pada tanggal
25 Rabiul Awwal 41 H / 661 M.
Keberhasilan Muawiyah mendirikan dinasti Umayyah bukan karena akibat dari
kemenangan diplomasi di shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, dari semula
Gubernur Suriah itu memilliki “ basis rasional “ yang solid bagi landasan
pembangunan politiknnya di masa depan. Pertama, adalah berupa dukungan yang
kuat dari rakyat suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah
yang lama diperintah oleh Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh dan
terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan Romawi. Mereka
bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya dari mekah dari keturunan Muawiyah
dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tiada habis-habisnya, baik
moral, tenaga maupun kekayaan.
Kedua,
sebagai administrator, muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para
pembantunya pada jabatan- jabatan penting, seperti Amr ibn Ash, Mughirah ibn
Syu`bah dan ziyad ibn Abihi. Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol
sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat ‘ Hilm “ sifat tertinggi yang
dimiliki oleh para pembesar Makkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti
Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan
yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
Gambaran
dari sifat mulia tersebut dalam diri Muawiyah setidaknya tampak dalam
keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun menurun.
Situasi ketika Muawiyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan.
Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga
hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar
keagamaan sejak Khalifah. Abu bakar tanpa dapat dielakkan dirusakkan oleh
peristiwa pembunuhan atas diri khalifah Usman dan perang saudara sesama muslim
di masa pemerintahan Ali.
Pemerintahan ini berakhir dengan kekalahan khalifah Marwan bin Muhammad di
perang Zab pada bulan Jumadil Ula tahun 132 H / 749 M. Pemerintahan Bani
Umayyah berlangsung selama 90 tahun. Pemerintahan ini dikuasai oleh dua
keluarga ( dari keturunan Abu Sufyan dan Keluarga Bani Marwan ) dan diperintah
oleh 14 orang khalifah dengan Damaskus sebagai ibukotanya.
B.
Para
Khalifah Bani Umayyah
Dinasti
Umayyah berkuasa hampir satu abad, dengan 14 khalifah. Mereka adalah Muawiyah
ibn Abi Sufyan (661-681 M), Yazid ibn Muawiyah (681-683 M), Muawiyah ibn
Yazid (683-684 M), Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M), Abdul Malik ibn Marwan
(685-705 M), Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Al-Walid ibn Abdul Malik
(705-715 M), Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M), Umar Ibn Abdul Aziz (717-720
M),Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M), Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M), Walid
ibn Yazid (742 - 743 M ), Yazid ibn Walid (Yazid III) (743 M), Ibrahim ibn
Malik (744 M), Marwan ibn Muhammad (745-750 M). Empat orang khalifah memegang
kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu Muawiyah, Abdul Malik, al- Walid 1 dan
hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu
20 tahun saja. Para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah
terbesar mereka ialah : Muawiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.
Muawiyah
ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah
pertama. Beliau adalah putera dari Abu Sufyan bin Harb, seorang pemuka suku
Quraisy yang masuk Islam pasca-fathul makkah. Kebijakan pertama yang ia lakukan
adalah memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam
wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah
kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping
itu., kebijakan yang lain adalah dengan mengatur birokrasi baru yang
berciri-khas Syam, dengan strata Arab dan Mawali (ajam atau non-Arab).
Secara
kenegaraan, Muawiyah mengubah bentuk pemerintahan dari model Khulafa’ur
Rasyidin yang menggunakan konsep Syura pada mekanisme pergantian kepemimpinan
menjadi bentuk kerajaan dengan “pewarisan kekuasaan” pada puteranya. Muawiyah
adalah seorang politisi yang cukup paham strategi. Ia menerapkan beberapa
kebijakan pada lawan politiknya, seperti mengurangi hak politik Hasan bin Ali
serta mempersiapkan puteranya untuk menggantikannya agar kedudukan politiknya
kuat.
Namun dalam
perspektif lain, Muawiyah memiliki kontribusi besar dalam perubahan struktur
sosial dan politik umat pada waktu itu. Muawiyah memisahkan Qadhi dan Ulama,
sehingga posisi qadhi atau hakim menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi
militer sehingga lebih professional dalam menjalankan tugas, kendati sering
digunakan untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
Muawiyah
juga memiliki prestasi lain di bidang politik luar negeri. Penyebaran Islam ke
luar yang telah dimulai sejak era Umar bin Khattab diteruskan oleh Muawiyah
dengan mengirim pasukan ke Afrika Utara (wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk
menghadapi pasukan Barbar yang menguasai daerah tersebut dan sering mengancam
wilayah Mesir. Sebagai respons, gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima
Uqbah untuk menghadapi kekuatan Barbar dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan
di Maroko sampai ke sebelah selatan Tunisia. Suksesi kepemimpinan secara turun
temurun di mulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
setia tehadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di
Persia dan Bizantium.
Khalifah
Yazid merupakan putera dari Muawiyah. Beliau lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada
tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya.
Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika
Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau mengangkat bai’at
kepadanya. Khalifah Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan
memintanya untuk mengangkat bai’at kepada Yazid beserta warga hijaz secara
keseluruhan. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn
Ali dan Abdullah ibn Zubair.
Bersamaan
dengan itu, pengikut Ali melakukan rekonsolidasi kekuatan. Perlawanan terhadap
Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari
Mekkah ke Kufah atas permintaan pengikut Ali yang ada di sekitar Kufah dan
mengangkat Husein sebagai Khalifah. Akan tetapi, rombongan Husein yang tidak
didukung oleh milisi atau tentara kemudian dihadang oleh pasukan Khalifah
Yazid. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah yang
sekarang masuk ke wilayah Irak secara territorial. Tentara Husein yang tidak
bersenjata lengkap kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal
dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.
Pasca-kematian Hussein, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubair sebagai
khalifah. Abdullah bin Zubair adalah putera dari Zubeir bin Awwam, seorang sahabat
nabi yang juga adalah golongan awal masuk Islam Ibunya adalah Asma’ binti
Abu Bakar, puteri Abu Bakar Ash-Shiddiq.Posisi ayahnya sangat dihormati di
kalangan muhajirin, dan ayahnya juga bersama Aisyah terlibat pada perang Jamal.
Posisi Abdullah bin Zubair menguat tanpa bisa dicegah oleh Khalifah Yazid
sebelum kematiannya.
Muawiyah
ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun.
Berbeda dengan ayahnya, ia bukan seseorang yang berwatak keras atau menyukai
peperangan. Tak banyak literatur yang membahas tentang Khalifah ini secara
lengkap. Ia memerintah kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai
khalifah sebelum wafat tiga bulan kemudian. Ia mengalami tekanan jiwa berat
karena tidak sanggup memikul tanggung jawab khilafah yang besar itu. Dengan
wafatnya, maka habislah keturunan Muawiyah dalam melanggengkan kekuasaan dan
berganti ke Bani Marwan, yaitu Marwan bin Hakam.
Sebelumnya,
Marwan bin Hakam adalah penasehat Khalifah Utsman dan turut berada di barisan Muawiyah
ketika awal-awal dinasti Umayyah dan konflik dengaan Ali. Masa pemerintahannya
tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam.
Hal menarik
yang patut dicatat adalah menguatnya pengaruh Abdullah bin Zubair bin Awwam di
daerah Hijaz, Nejd, dan Yaman sehingga ia berhasil mengonsolidasi kekuatan pada
era tersebut. Abdullah bin Zubair telah bertransformasi menjadi kekuatan
penekan (pressure group) yang sangat efektif; Ia mengorganisasi kekuatan
militer di Mekkah dan Madinah serta menjadi khalifah setelah dibai’at oleh
orang-orang Hijaz. Atas dasar ini, maka pemerintahan Muawiyah ibn Yazid, Marwan
bin Hakam, dan Abdul Malik bin Marwan ( di masa awal pemerintahannya ) adalah
tidak sah. Sebab, mereka berkuasa di Syam pada saat pemerintahan Abdullah ibn
Zubair. Inilah pendapat sebagian besar sejarawan.
Khalifah
Marwan bin Hakam masih belum dapat mencegah kekuatan Abdullah bin Zubair secara
penuh. Khalifah Marwan wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya
selama 9 bulan 18 hari. Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah
setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik,
kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan. Hal yang terlebih dulu dilakukan oleh
Khalifah Abdul Malik adalah menyatukan kembali kekuatan politik Bani Umayyah
yang sempat terpecah di era sebelumnya. Khalifah Abdul Malik kemudian
mengorganisasi kekuata militer untuk menghadapi kelompok Abdullah bin Zubair
yang menguasai Hijaz.
Pada
akhirnya, kekuatan Abdullah bin Zubair terdesak. Pasukan Bani Umayyah dapat
menguasai kota Mekkah, benteng pertahanan terakhir dari Abdullah bin Zubair dan
membunuh Abdullah bin Zubair. Dikuasainya Hijaz ini kemudian mengakhiri
pemberontakan orang-orang Hijaz dan secara otomatis menyatukan kembali kekuatan
Bani Umayyah pada satu kepemimpinan. Sejak itulah Abdul Malik secara legal
menjadi khalifah kaum muslimin. Abdullah ibn Zubair memerintah selama
kurang lebih Sembilan tahun.
Khalifah
Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani
Umayah yang disebut-sebut sebagai “Pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah. Ia
dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang
fikih. Khalifah Abdul Malik sebagai Khalifah yang tegas, perkasa dan negarawan
yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan dunia Islam. Ia memiliki
kontribusi penting dalam tata moneter dunia Islam.
Khalifah
Abdul Malik bin Marwan juga memiliki kontribusi dalam penyebaran Islam. Politik
Luar Negeri yang berbasis pada penyebaran Agama Islam ke luar daerah juga
menuai hasil yang cukup signifikan, antara lain dengan berhasil dikuasainya
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana, dan Samarkand di Asia Kecil yang sekarang
masuk ke teritori negara Uzbekistan serta Kazakhstan
Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para
pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaanya, seperti
al-Hajjaj ibn Yusuf yang gagah berani di medan perang, dan Abdul Aziz,
saudaranya yang dipercaya memegang jabatan sebagai gubernur Mesir.beliau wafat
pada tahun 705 M / 86 H dalam usia yang ke-60 tahun, dan diganti oleh putranya
yang bernama al-Walid.
Pada masa
pemerintahan Walid bin Abdul Malik, telah terjadi kemapanan politik yang
mengakhiri periode transisi. Gerakan-gerakan oposisi dan kelompok penekan telah
dipadamkan sehingga kekuatan Khalifah Walid cukup kuat. Dengan adanya kemapanan
ini, kebijakan Khalifah Walid lebih berkonsentrasi pada konsolidasi politik dan
pelaksanaan politik luar negeri dengan menyebarkan Islam ke daerah lain dengan
kekuatan dan sumber daya yang dimiliki.
Pada era
ini, tekanan dari penduduk Hijaz telah mereda dan tidak lagi mengancam
eksistensi kekuasaan khalifah. Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi diberi kebebasan
untuk memerintah daerah Irak. Kebijakan khalifah Walid lebih berorientasi pada
ekspansi dan pengembangan sayap dakwah Islam ke wilayah-wilayah lain. Khalifah
Al-Walid memiliki bangunan sumber daya yang cukup kuat untuk melaksanakan
politik luar negerinya tersebut. Pada masa ini, penyebaran Islam mengalami
momentumnya tersendiri/ tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah
kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada
tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol)
dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad
mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Cordoba, Granada dan Toledo
yang merupakan wilayah kekuasaan Roderik, penguasa Gothik yang memerintah wilayah
Spanyol dan Portugal.
Khalifah
Walid bin Abdul Malik juga berhasil menyebarkan Islam sampai ke India di bawah
kepemimpinan Muhammad bin Qasim. Kemenangan pasukan Islam di Punjab kemudian
memberi peluang untuk masuk ke India yang sangat kental kekuatan Hindunya.
Muhammad bin Qasim kemudian berhasil memasuki India hingga menguasai Delhi yang
kelak menjadi kekuatan Islam di India. Walid bin Abdul Malik menjadi
seorang Khalifah yang dikenal luas oleh publik internasional sebagai pemimpin
yang disegani. Khalifah Walid berhasil mendesak kekuatan kaum Gothik di Spanyol
serta mulai menyebarkan Islam ke segenap penjuru Asia. Hal ini tak lepas dari
struktur militer yang professional yang telah dibangun oleh pemerintah pada
waktu itu. Militansi kekuatan militer cukup tinggi, terlihat dari berhasilnya
pasukan Thariq bin Ziyad dalam menaklukkan Spanyol, padahal kekuatan Gothik
masih begitu kuat dan pasukan yang dikirim tidak terlalu besar kuantitasnya.
Sulaiman
Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Menjelang saat terakhir pemerintahannya
beliau memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang
kemudian diangkat menjadi penasehatnya. Umar bin Abdul ‘Aziz pada dasarnya
adalah seorang ulama. Hal inilah yang menyebabkan posisinya cukup kuat di
kalangan ulama Mekkah dan Madinah, di samping faktor nasab beliau yang juga
merupakan cucu dari Khalifah Umar bin Khattab.
Pada era
pemerintahannya, penaklukan Romawi menemui kendala. Satu-satunya jasa yang
dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan
pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
Sulaiman
ibn Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana.
Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang
berjasa di masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga al-Hajjaj
ibn Yusuf dan Muhammad ibn Qasim yang menundukkan India. Ia menunjuk Umar ibn
Abdul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada tahun 99 H. Umar ibn
Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan
sederhana. Hepi Andi Basthoni dalam sebuah bukunya bahkan membandingkan figur
keulamaannya dengan kepemimpinan yang merupakan warisan dari kakek beliau, Umar
bin Khattab.
Beliau
adalah cucu dari Khalifah Marwan bin Hakam (dari Bapak beliau, Abdul Aziz bin
Marwan) dan sepupu dari Sulaiman bin Abdul Malik. Berbeda dari khalifah
sebelumnya yang memiliki karakter politisi, karakter yang melekat pada diri
beliau adalah karakter keulamaan. Semua Umar II dengan tegas menolak jabatan
kekhalifahan yang ditunjuk oleh pendahulunya, Sulaiman. Karena terus didesak
oleh kaum muslim, akhirnya menerima amanah umat tersebut yang menurutnya merasa
tidak ringan itu. Buktinya, pada umumnya seperti layaknya orang baru menerima
anugrah jabatan, pasti seseorang mngucapkan alhmadulillah sebagai anugrah
Tuhan, justru Umar II sebaliknya; ia mengucap Innalillahi wa Inna ilaihi
Raajiun, seperti orang yang baru terkena musibah.
Setelah
menjadi khalifah ia kirim segala kekayaan ke kas negara, termasuk kekayan
pribadi ibu negara Hal ini yang menyebabkan kezuhudan beliau selama memerintah
dengan kesederhanaan yang melekat pada kepribadian beliau. Masa pemerintahan
beliau sangat singkat, hanya dalam 2 tahun lebih. Sebuah cerita yang
dilukiskan oleh Hepi Andi pada bukunya cukup untuk menyadarkan kita akan
pentingnya kesederhanaan. Pada cerita yang diambil pada sebuah atsar tersebut,
terlihat bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak ingin menggunakan lampu yang dibiayai
oleh Baitul Mal untuk keperluan pribadinya. Beliau mematikan lampu ketika anak
beliau datang ke kantor pemerintahan. Kesederhanaan beliau disinggung dalam
berbagai kitab Tarikh dan menjadi teladan bagi pemimpin dunia.
Sehingga,
wajar jika banyak yang menyebut beliau sebagai Umar II, yang memang mewarisi
sikap sederhana dari Khalifah Umar bin Khattab. Ketika dinobatkan sebagai
Khalifah, beliau segera menegaskan sebuah komitmen dan frame kebijakan bahwa
memperbaiki dan meningkatkan pembangunan negeri yang berada dalam naungan Islam
lebih baik daripada menambah perluasan ke wilayah lain. Ini berarti bahwa
prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri dan konsolidasi serta ishlah
pada beberapa kelompok yang sempat bertikai dengan khalifah sebelumnya.
Meskipun
masa pemerintahannya sangat singkat, beliau berhasil menjalin hubungan baik
dengan kelompok Syi’ah dan Khawarij yang pada saat itu telah memulai langkah
untuk menjadi sebuah faksi teologis di Bani Umayyah.. Posisi beliau sebagai
gubernur Hijaz memudahkan rekonsiliasi dengan penduduk Mekkah dan Madinah,
ditambah dengan figure keulamaan dan kezuhudan yang melekat dalam kepribadian
beliau.
Umar ibn
Abdul aziz berusaha memperrbaiki segala tatanan yang ada pada masa
kekhalifahanya, seperti menaikkan gaji untuk para gubernurnya, memeratakan
kemakmuran dengan member santunan kepada para fakir dan miskin, memperbaharui
dinas pos, menyamakan kedudukan orang-orang non Arab yang menempati sebagai
warga Negara kelas dua, dengan orang-orang Arab, mengurangi beban pajak dan
menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru.
Umar ibn
Abdul Aziz termasuk khalifah ketiga yang besar, meskipun masa pemerintahannya
sangat pendek, namun Umar merupakan “ lembaran Putih “ Bani Umayyah dan
sebuah periode yangberdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh
oleh kebijaksanaan – kebijaksanan Daulah Umaiyah yang banyak disesali. Beliau
merupakan personifikasi seorang khalifah yang taqwa dan bersih, suatu sikap
yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Sayangnya,
masa pemerintahannya tergolong singkat yaitu tidak sampai 3 tahun. Umar II yang
naik tahta pada usia 35 tahun, harus sudah meninggal pada usia 38 tahun.
Kematiannya dikaitkan dengan kecemburuan keluarga Khalifah sebelumnya, yang
mengangkat khalifah bukan dari keturunannya. Cuma sepupu, padahal, Sulaiman
punya anak dan saudara yang lebih berhak untuk menggantikannya, kematian Umar
II ini konon karena di racun pembantunya. Periode ini merupakan awal dari
kemunduran Bani Umayyah.
C.
Konstruksi
Politik Bani Umayyah
Sistem ketatanegaraan
yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah
sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan
dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan
dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagi Syuro. Khalifah lebih
berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin.
Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum
bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
Hal ini
berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan
Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu
merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang
syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan
kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang
Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis
berubah.
Implikasi
pertama yang menyertai konstruksi monarki ini adalah berubahnya pola kekuasaan.
Otoritas tertinggi ada pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang khalifah
harus ditaati perintahnya.
Implikasi
kedua adalah sentralisasi dan absolutisme kekuasaan yang begitu kental. Peran
seorang khalifah dalam menentukan kebijakan sangat besar. Gubernur tidak
diperkenankan membuat kebijakan sendiri –terutama ketika periode transisi—dan
peran Khalifah dalam pembuatan keputusan sangat dominan. Dampak positif dari
kekuasaan yang sangat sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam
mengatasi pemberontakan, tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan
kelompok-kelompok penekan dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.
Implikasi
ketiga adalah berkurangnya peran ulama dari lingkaran kekuasaan. Kecuali pada
era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin
sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama.
Para ulama menjauh dari lingkaran elit istana; mereka hanya memberi fatwa dan
nasehat di kalangan masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta
fatwa kepada para ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu tanpa ada
implikasi-implikasi lain.
Implikasi
keempat adalah kekuasaan ada pada sekeliling istana saja. Kelompok dari luar
Bani Umayyah tidak memiliki akses pada pemutus kebijakan sehingga menimbulkan
beberapa gejolak. Sistem monarki tidak memungkinkan adanya orang dari kelompok
lain memegang tampuk kekuasaan, sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin
merebut kekuasaan, seperti Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah.
Implikasi inilah yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.
Seperti
dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi
oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstra kekuasaan dan
pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang
dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk
diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin
Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah.
Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki
legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.
Pertama,
gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga
di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin
Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas
sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan
yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pasca pembantaian Karbala yang
melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at
Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengkonsolidasi diri.
Abdullah
bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah
mulai membangun pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum
ulama semakin memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah
dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan
oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak
politik Hasan bin Ali oleh Damaskus.
Namun,
ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul
Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun
tersebut. Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat
melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan
dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli
dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
Fenomena
berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas
As-Saffah. Mereka memanfaatkan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli
(non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali
era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting
dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam
eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh
kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi
yang mengancam kekuasaan.
Pasca-era
Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan
yang lemah. Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis,
serta efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga
akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil
merebut kekuasaan pada tahun 750 M Khalifah Muawiyah
melanjutkan usaha Khalifaur Rasyidin dalam penyebaran dakwah ke wilayah lain.
Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm
di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke
Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan
berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga,
secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di
Spanyol sampai ke Delhi di India.
Perluasan
wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan dari politik luar
negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan
adanya batas territorial baru tersebut, hubungan antara umat Islam dengan
bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin intensif dan hubungan
perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah
bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah
peradaban.
Selain itu,
umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik internasional baru yang mewarnai
dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan
Islam tidak hanya menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama
yang dianut oleh bangsa lain. Bertambah luasnya teritorial umat Islam ini juga
berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai
implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang
memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya
gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan
di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim yang berada di wilayah
kekuasaan umat Islam.
Selain itu,
bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi
stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab
dan Mawalli (muslim non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di
masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin
hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan oposisi.
Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang
tidak ingin kekuasaannya terancam.
D.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Masa Dinasti Bani Umayyah
Meskipun
para penguasa dinasti Bani Umayyah lebih mengutamakan usaha pengembangan
wilayah kekuasaan dan memperkuat angkatan bersenjatanya, ternyata banyak juga
usaha positif yang dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu
yang mendorong ilmu pengetahuan berkembang adalah dengan memberikan motivasi
dan anggaran yang cukup besar yang diberikan untuk para ulama, ilmuan, seniwan,
dan sastrawan. Tujuannya antara lain agar mereka bekerja maximal
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, tidak lagi memikirkan masalah
keuangan rumah tangga mereka.
Kemajuan
ilmu agama mulai brkembang pada da masa Khalifah Abdul Malik sebagai contoh
Sibawaih yang berhasil menyusun kitab Nahwu dan sharaf, Khalifah Abdul Malik
juga perhatian kepada tafsir, hadits, fikih dan ilmu kalam, di zaman inilah
dimulai dan muncul nama-nama seperti Hasan al- Basri, az-Zuhri dan Washil bin
Atha`. Dalam lapangan sosial budaya, bani Umayyah telah membuka terjadinya
kontak antara bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang
terkenal memiliki tradisi yang luhur seperti Persia, Mesir, Eropa dan
sebagainya. Hubungan itu lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan di
bidang seni dan ilmu pengetahuan. Di lapangan seni, terutama seni arsitektur,
Bani Umayyah mencatat prestasi puncak, seperti Qubah as- Shakhra di Yerusalem
menjadi monument terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya di kagumi orang.
Pemerintahan Bani Umayyah juga mempunyai keistimewaan lain, yaitu terdapatnya
peluang yang cukup sepanjang kurun kekuasaanya bagi perkembangan berbagai
aliran yang tumbuh di masyarakat. Meskkipun sebagian aliran itu boleh jadi
dikehendaki perkembangannya oleh penguasa waktu itu, tetapi situasi yang
tercipta disadari atau tidak telah memperkaya khazanah kebudayaan Islam yang
universal. Aliran-aliran tersebut antara lain Syiah, Khawarij, dan Mu`tazilah.
Pada masa Umar II banyak sekali perilaku dan kebijakan-kebijakan yang
dilakukannya mengandung pelajaran yang patut di teladani dan di tiru,
diantaranya:
a. Sikap
hidup yang sederhana, zuhud, dan wara. Fakta telah menyebutkan bahwa ia
menyerahkan seluruh hartanya ke Bait al-Mal untuk kepentingan rakyat, bahkan
kalung emas milik istrinya yang bernilai 10 ribu dinar mas pun diserahkanya, ia
hanya menggunakan 2 dirham saja dari kekayaanya padahal sebelum menjadi
khalifah kekayaanya sangat berlimpah.
b. Demokratis
dalam memimpin. Umar II selalu meminta pendapat penduduk setempat dalam hal
pemilihan calon gubernur.
c. Kesalehan
dan kezuhudanya. Ia selalu duduk di tengah para sahabat nabi dan para perawi
hadis, karena itulah ia dikenal sebagai sufinya dinasti umayyah.
d. Mencintai
ilmu pengetahuan terutama agama, ia mengutus sepuluh orang pakar hukum Islam ke
Afrika Utara untuk mengajar dan menyebarkan ilmu mengajar hal-hal agama Islam
di sana termasuk penyebaran ilmu sains dan ilmu kedokteran, ia mengirim dai-dai
islam ke berbagai Negara seperti di India, Turki, Asia tengah, Afrika,
Andalusia. Dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Ia juga memerintahkan
semua warganya untuk berbondong-bondong untuk mempelajari hukum Islam di setiap
bangunan terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Selain itu
ia juga menyuruh golongan cendekiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang
ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani, latin, dan
Suryani ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu dalam naskah-naaskah itu dapat dicerna
oleh umat Islam yang menjaadi bahan kajian bagi cerdik cendekiawan saat itu.
e. Keadilan
dan kemanusiaan adalah dasar pemerintahan yang sangat diperhatikan oleh Umar
II. Ia mengaplikasikan ajaran Islam yang berbicara tentang keadilan murni dalam
kepemimpinanya, sehingga Umar II dapat merangkul mawali dan berkurang
jurang antara Arab dan Non Arab.
f. Kebijakan
musyawarah yang diterapkan Umar II dengan para sahabat nabi yang masih hidup
dan para ulama yang soleh dalam hal memutuskan sesuatu supaya tidak menyimpang
dari al-Quran dan hadis dan tidak merugikan masyarakat.
g.
Tanggung jawab dan mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan
diri dan keluarganya.
h. Tegas
dalam hal menegakkan hukum. Pada masa alWalid I sebuah gereja st Thomas di
Damaskus di jadikan masjid, pada masa Umar II, gereja itu dikembalikan kepada
umat Kristen.
i. Tegas
dalam memimpin, Umar II berani memecat pejabat Negara yang korup dan
menggantikan dengan pejabat yang amanah.
E.
Faktor-Faktor
Kejatuhan Dinasti Bani Umayyah
1. Pertentangan
keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan (
Himyariyah ) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Umaiyah persaingan antar
etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cenderung kepada satu
fihak dan menafikan yang lainnya.
2. Ketidakpuasan
sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “ Mawali “, suatu status
yang menggambarkan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang
Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab
mengalami beratnya peperangan dan bahkan beberapa orang di antara mereka
mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata orang Arab , tetapi harapan
mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan.
Seperti tunjangan yang di berikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil
di banding tunjangan yang di bayarkan kepada orang Arab.
3. Latar
belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum syiah dan khawarij terus berkembang menjadi
gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan
umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa-masa akhir kekuasaan
Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat
menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.
4. Persaingan
di kalangan anggota Dinasti Bani Umayyah membawa kelemahan kedudukan mereka.
5. Hidup
mewah di istana memperlemah jiwa dan vitalitas anak-anak khalifah yang membuat
mereka tidak sanggup memikul beban pemerintahan yang sedemikian besar.
F.
Komparasi
Al-Khulafa Al-Rasyidun Dan Dinasti Umayyah
1. Pada
masa al-Khulafa al-Rasyidun system pemerintahan dijalankan atas dasar al-Quran,
hadis dan ijma’, sedangkan pada masa dinasti Umayyah dalam menjalankan roda
pemerintahan, perintah kholifah segala-galanya dan harus dipatuhi.
2. Pada
masa al-Khulafa ar-Rasyidun, khalifah menganggap sebagai pelayan masyarakat,
sedangkan para khalifah dinasti Umayyah menganggap diri mereka sebagai
penguasa.
3. Pada
khulafa ar-Rasyidun bertahan karena dukungan rakyat, sedangkan masa dinasti
Umayyah bertahan dengan kekuatan.
4. Pada
masa khulafa ar-Rasyidun tidak ada satu suku yang berkuasa terus menerus,
sedangkan pada masa Dinasti Umayyah dalam kekhalifahan hanya merekalah yang
menguasai.
5. Pada
masa khulafa ar-Rasyidun hak berbicara dijamin dan rakyat dapat langsung
menghadap khalifah sedangkan pada masa Dinasti Umayyah hak bicara rakyat
ditekan dan jika rakyat menghadap khalifah harus melewati perantara yang
disebut hajib.
6. Pada
masa khalifa ar-Rasyidun system demokrasi berjalan, sedang pada masa Dinasti
Umayyah suara rakyat tidak dihiraukan.
7. Pada
masa khulafa ar-Rasyidun tidak memliki hak terhadap bait al-Mal sedang pada
Dinasti Umayyah bait al-Mal menjadi milik khalifah sendiri.
8. Pada
masa khulafa ar-Rasyidun pengaruh jahiliah berkurang, sementara pada masa
Dinasti Umayyah bertambah.
9. Pada
masa khulafa ar-Rasyidun khlaifah hidup sederhana dan dianggap orang biasa,
namun sebaliknya para khalifah Dinasti Umayyah hidup dengan serba kemewahan
seperti raja-raja Persia dan Bizantium
10.
Pada masa khulafa ar-Rasyidun khalifah merangkap ahli hukum, agama, dan sangat
menghargai alim ulama. Sedangkan jaman Dinasti Umayah para ulama di
istirahatkan dari dunia politik.
11.
Pada masa khulafa ar-Rasyidun gerak-gerik khalifah tentang urusan agama
dibatasi oleh syari’ah sedangkan pada masa Dinasti Umayyah khalifah memerintah
seenaknya.
12.
Pada masa khulafa ar-Rasyidun Majelis Syura’ di atas khalifah dan keluarga,
sedangkan pada masa Dinasti Umayyah anggota majelis Syura’ diangkat dari dan
oleh keluarga dan kaum kerabat khalifah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
analisis di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa :
1. Sejarah
dinasti Umayyah tak dapat dilepaskan dari peristiwa sebelumnya, yaitu konflik
horizontal antara faksi Muawiyah dan Ali sebagai Khalifah pada waktu itu.
Momentum perseteruan terjadi pada Perang Shiffin, ketika pasukan dua golongan
bertemu. Perang ini diakhiri dengan peristiwa Tahkim yang menandai pembagian
kekuasaan antara Muawiyah dan Ali, hingga terbunuhnya Ali.
2. Dinasti
Umayyah yang terbentang mulai tahun 661 M – 750 M telah mengalami dinamika dan
pasang-surut kepemimpinan. Faktor Khalifah atau aktor yang menjadi pemutus
kebijakan tertinggi menjadi sangat penting bagi kekuatan Dinasti. Ketika
Khalifah yang berkuasa kuat, kedaulatan Bani Umayyah pun juga menjadi kuat.
3. Bani
Umayyah telah membangun konstruksi politik yang sedemikian besar ketika
berkuasa. Konstruksi kekuasaan dibangun dengan mekanisme kerajaan atau monarki,
sehingga berimplikasi pada bergesernya pola orientasi kekuasaan, sentralisme
kekuasaan pada Khalifah yang berdampak pada absolutisasi kebijakan Khalifah,
berkurangnya peran ulama dalam pembuatan keputusan, serta munculnya lingkaran
elit yang berbasis istana dengan dominasi kelompok-kelompok di sekeliling
Khalifah.
4. Konstruksi
Oposisi terbentuk dengan adanya ketidakpuasan atas Khalifah dengan dua aktor
utama: Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Gerakan Abdullah bin
Zubair dapat dihancurkan dengan kekuatan Khalifah yang begitu kuat, sementara
Abul Abbas As-Saffah tak dapat dikalahkan dengan mudah dan akhirnya berhasil
merebut kekuasaan.
5. Konstruksi
politik luar negeri dibangun dengan dasar penyebaran Islam melalui
penaklukkan-penaklukkan. Umat Islam berhasil mengembangkan territorial
kekuasaan mereka hingga Spanyol di ujung barat dan India di ujung selatan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://zudi-pranata.blogspot.com/2013/03/memahami-perkembangan-pada-masa-bani.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar