Selasa, 18 Juni 2013

SEJARAH DINASTI BANI UMAYYAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejarah Bani Umayyah tak dapat dilepaskan dari sejarah sebelumnya, yaitu krisis kepemimpinan yang melanda umat Islam pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. Sejarah mencatat bahwa setelah terbunuhnya khalifah Utsman, bibit konflik mulai muncul. Umat Islam mulai mengalami konflik internal antara beberapa faksi yang ada, seperti perang Jamal antara faksi ummul mu’minin Aisyah dan Zubair bin Awwam r.a. dengan faksi Ali. Konflik juga terjadi pada perang Shiffin antara Muawiyah dengan Ali.
Menarik untuk dicermati, konflik ini bermuara pada aktivitas pemberontakan yang berakibat pada terbunuhnya Khalifah Utsman di akhir kepemimpinannya. Ketika Ali menggantikan Utsman, umat Islam terfaksionalisasi menjadi beberapa kelompok, seperti kelompok ‘Aisyah r.a., kelompok Ali, dan kelompok Muawiyah yang pada waktu itu menjadi gubernur di Syam (Syria dan sekitarnya). Faksionalisasi ini pada gilirannya melahirkan pergumulan politik yang begitu tajam hingga beberapa periode khilafah di era Dinasti Umayyah.
Pada perang Shiffin, ada dua golongan yang berseteru akibat krisis kepemimpinan tersebut, yaitu golongan khalifah Ali dan golongan Muawiyah. Golongan Muawiyah yang mempertanyakan legitimasi politik dari Khalifah Ali menyusun kekuatan, ditambah dukungan dari Amr bin Ash yang menjadi gubernur Mesir. Sementara itu, golongan Ali tidak merespons gerakan yang dibangun oleh Muawiyah, sehingga kedua belah pihak sama-sama show of force di Shiffin, tepi Sungai Jordan.
Perang Shiffin ini kemudian melahirkan gagasan untuk bertahkim, yaitu mengangkat sumpah di hadapan Al-Qur’an dan atas nama Allah bahwa kedua belah pihak akan melepaskan diri dari kekuasaan dan akan menyerahkan kepemimpinan pada umat. Pada saat itu, golongan khalifah Ali ra menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari, seorang dari Bani Abdus shams dan muhajirin yang termasuk golongan awal masuk Islam. Sementara itu, golongan Muawiyah menunjuk Amr bin Ash sebagai negosiator. Amr bin Ash sendiri juga adalah muhajirin dan merupakan panglima umat Islam ketika tentara muslimin menaklukkan Mesir di era Khalifah Umar bin Khattab.
Peristiwa tahkim tentu saja sangat diingat karena mengubah sejarah pada waktu itu. Golongan Ali menerima usulan dan segera melepaskan kepemimpinan. Akan tetapi, Amr bin Ash ternyata menyatakan melepaskan kepemimpinan dan ternyata, di luar dugaan Amr bin Ash menyatakan bahwa Khalifah yang sah adalah Muawiyah. Karena hal ini adalah sumpah, maka sebagai konsesi Khalifah Ali membagi wilayah menjadi dua: Wilayah Hijaz, Yaman, dan Nejd (Semenanjung Arabia) menjadi kekuasaan Ali, sementara Syam dan Mesir di bawah Muawiyah.
Ternyata, hasil konsesi tersebut menimbulkan implikasi lanjutan berupa terfragmentasinya kekuatan Ali menjadi tiga: Syiah, Khawarij, dan kelompok yang setia dengan khalifah Islam. Dua kelompok pertama kemudian bertransformasi menjadi faksi teologis dan tidak lagi berafiliasi kepada kekuatan umat yang utama pada waktu itu. Pada perkembangannya, kelompok Khawarij melakukan tindakan takfir kepada tiga tokoh umat yang berkonflik pada waktu itu: Ali, Muawiyah, dan Amr bin Al-Ash. Kelompok ini akhirnya mengutus pengikutnya untuk membunuh ketiga orang tersebut, namun hanya Ali yang berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam di Kufah, selepas Shalat Subuh.
     Meninggalnya Ali kemudian berimplikasi pada vacum of power di tubuh umat Islam. Orang-orang Hijaz mengangkat bai’at kepada Hasan bin Ali, tetapi Hasan menolak bai’at dan membuat perjanjian dengan Muawiyah. Isi perjanjian tersebut salah satunya adalah mempersilakan Muawiyah untuk menjadi khalifah, tetapi dengan catatan Muawiyah menghentikan sikapnya untuk mencaci-maki Ali di mimbar Jum’at.
     Sebagai implikasinya, kedudukan Muawiyah bertambah kuat hingga akhirnya ia berhasil mengonsolidasi kekuatannya dengan mendirikan Dinasti Umayyah. Fase ini menjadi era baru bagi pergantian kepemimpinan di tubuh umat Islam waktu itu.
     Sebelum membahas Dinasti Umayyah penulis sedikit membahas mengenai khawarij dan syiah, karena kedua kelompok ini banyak mengadakan perlawanan atau pemberontakan yang sering kali menggoyahkan Dinasti Umayyah.
     Pertama Khawarij, bagi khawarij ada dua hal yang penting yang menjadi pandanganya, yakni politik dan keagamaan. Di bidang politik Khawarij memiliki pemahaman, seorang khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat, baik dari bangsa Arab atau ‘ajam (non arab). Mereka berusaha mengeliminir keutamaan arab atau non  arab, bahkan sebagian mereka berpendapat bahwa orang ‘ajam lebih baik dari bangsa arab, bahkan menurut khawarij seorang perempuan pun boleh memegang kekuasaan , jika memang mampu menyelenggarakan roda pemerintahan dan memenuhhi criteria sebagai seorang kepala Negara. Dengan demikian, apa yang terjadi diantara Ali dan Mu’awiyyah merupakan sebuah kesalahan, karena keduanya tidak berangkat dari “pemilihan” oleh rakyat. Selain itu, khawarij juga meyakini bahwa khalifah tidak diperlukan, namun cukup dengan badan khusus sebagai penyelenggara pemerintahan (Rahman, 1977:67-68).
     Sementara itu, dalam pandangan keagamaannya, di antaranya adalah jika seorang muslim tidak menjalankan shalat, maka ia wajib dibunuh, dan jika seorang yang meninggal dunia tanpa tobat terlebih dahulu, maka ia akan masuk neraka selamanya. Dengan demikian, tanpa amal soleh, maka seseorang sama halnya dengan tidak mukmin (kafir). Sesorang yang tidak bersih hati nuraninya, maka ia termasuk golongan orang murtad, dan dalam pandanganya seseorang yang demikian itu masuk neraka selamanya. Pandangan khawarij yang paling mencolok adalah keyakinan bahwa orang Islam yang tidak menganut ajaran-ajaran mereka tersebut dianggap kafir. Hal ini mendasari sikap mereka terhadap umat Islam (selain golongan khawarij) keras dan tegas, sementara dengan non muslim (yahudi dan Nasrani) mereka bersikap lunak. Mereka beranggapan bahwa Ali, Amr, dan Muawiyah adalah kafir. Karena atas ulah mereka banyak umat Islam mati di medan konflik yang ada tersebut.
     Orang yang mengikuti Ali dan termasuk bagian yang mengagungkan khalifah Ali kemudian disebut sebagai Syi’ahtu Ali (pengikut Ali) yang kemudian hari dikenal dengan kelompok Syi’ah. Mereka kemudian berorientasi politik. Kekuatan politik tersebut mendudukkan Ali sebagai khalifah, dan tidak pernah mengakui kekhalifahan sebelumnya. Setelah Nabi wafat, kelompok simpatisan Ali tersebut tidak mengakui Abu Bakar sebagai khalifah. Menurut mereka Ali adalah keluarga nabi (Ahl-al Bait) yang paling berhak untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad. Setelah Umar I terpilih, mereka kecewa. Terlebih saat Utsman terpilih mereka tidak bisa terima, maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun bibit Syi’ah telah ada saat pemilihan Khalifah Abu Bakar namun dalam catatan sejarah Islam mulai munculnya syi’ah adalah setelah wafatnya Ali bin Abu Thalib, dan arena adanya rivalitas politik dari kelompok khawarij.
     Orang Syi’ah mengakui Muhammad sebagai Rasul dan Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu dari Allah SWT. Imam itu jabatan sacral yang ditentukan oleh Allah dan memiliki tujuan untuk kesejahteraan umat manusia. bagi mereka Imam merupakan seorang yang tidak pernah berdosa dan terlindungi (ma’shum), jadi apa yang disampaikan imam merupakan ucapan Tuhan. Dengan kalimat Syahadat ditambah dengan kalimat Ali Khalifatullah. Kelompok Syi’ah ekstrem (al-Ghurabiah) percaya , bahwa wahyu sesungguhnya diturunkan Allah kepada Ali, namu n Jibril keliru menyampaikan, dan justru kepada Muhammad. Mereka juga mengklaim, bahwa dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang memihak Syiah disembunyikan oleh orang Sunni atau disebarkan ayat-ayat palsu yang mendiskriditkan Syi’ah. Menurut mereka Al-Qur’an dan hadis  yang diriwayatkan oleh orang Syiah kedudukanya adalah atas segala ilmu. Oleh karena itu, menurut mereka tidak perlu Ijma dan Qiyas. Salah satu tuduhan mereka terhadap kelompok Sunni adalah Sunni dianggap menyembunyikan hadis-hadis yang menjelaskan, bahwa Ali merupakan khalifah setelah Nabi. Syi’ah menjadi kekuatan politik yang utuh secara “de jure” semenjak terjadinya peristiwa Karbala pada 10 Oktober 680M.
    


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Berdirinya        
Pemerintah Bani Umayyah berdiri setelah Khilafah Rasyidah yang ditandai dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H / 661 M. pemerintahan mereka dihitung sejak Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah bin Abi Sufyan pada tanggal 25 Rabiul Awwal 41 H / 661 M.
     Keberhasilan Muawiyah mendirikan dinasti Umayyah bukan karena akibat dari kemenangan diplomasi di shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, dari semula Gubernur Suriah itu memilliki “ basis rasional “ yang solid bagi landasan pembangunan politiknnya di masa depan. Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat suriah dan dari keluarga Bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Muawiyah mempunyai ketentaraan yang kokoh dan terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya dari mekah dari keturunan Muawiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tiada habis-habisnya, baik moral, tenaga maupun kekayaan.
     Kedua, sebagai administrator, muawiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan- jabatan penting, seperti Amr ibn Ash, Mughirah ibn Syu`bah dan ziyad ibn Abihi. Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat ‘ Hilm “ sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Makkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
     Gambaran dari sifat mulia tersebut dalam diri Muawiyah setidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah secara turun menurun. Situasi ketika Muawiyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral, sehingga hilanglah persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak Khalifah. Abu bakar tanpa dapat dielakkan dirusakkan oleh peristiwa pembunuhan atas diri khalifah Usman dan perang saudara sesama muslim di masa pemerintahan Ali.
     Pemerintahan ini berakhir dengan kekalahan khalifah Marwan bin Muhammad di perang Zab pada bulan Jumadil Ula tahun 132 H / 749 M. Pemerintahan Bani Umayyah  berlangsung selama 90 tahun. Pemerintahan ini dikuasai oleh dua keluarga ( dari keturunan Abu Sufyan dan Keluarga Bani Marwan ) dan diperintah oleh 14 orang khalifah dengan Damaskus sebagai ibukotanya.
B.     Para Khalifah Bani Umayyah  
     Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad, dengan 14 khalifah. Mereka adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-681 M), Yazid ibn Muawiyah (681-683 M), Muawiyah ibn Yazid (683-684 M), Marwan ibn Al-Hakam (684-685 M), Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M), Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M), Umar Ibn Abdul Aziz (717-720 M),Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M), Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M), Walid ibn Yazid (742 - 743 M ), Yazid ibn Walid (Yazid III) (743 M), Ibrahim ibn Malik (744 M), Marwan ibn Muhammad (745-750 M). Empat orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu Muawiyah, Abdul Malik, al- Walid 1 dan hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah : Muawiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.
     Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Beliau adalah putera dari Abu Sufyan bin Harb, seorang pemuka suku Quraisy yang masuk Islam pasca-fathul makkah. Kebijakan pertama yang ia lakukan adalah memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah ke kota Damaskus dalam wilayah Suriah. Pada masa pemerintahannya, ia melanjutkan perluasan wilayah kekuasaan Islam yang terhenti pada masa Khalifah Ustman dan Ali. Disamping itu., kebijakan yang lain adalah dengan mengatur birokrasi baru yang berciri-khas Syam, dengan strata Arab dan Mawali (ajam atau non-Arab).
     Secara kenegaraan, Muawiyah mengubah bentuk pemerintahan dari model Khulafa’ur Rasyidin yang menggunakan konsep Syura pada mekanisme pergantian kepemimpinan menjadi bentuk kerajaan dengan “pewarisan kekuasaan” pada puteranya. Muawiyah adalah seorang politisi yang cukup paham strategi. Ia menerapkan beberapa kebijakan pada lawan politiknya, seperti mengurangi hak politik Hasan bin Ali serta mempersiapkan puteranya untuk menggantikannya agar kedudukan politiknya kuat.
     Namun dalam perspektif lain, Muawiyah memiliki kontribusi besar dalam perubahan struktur sosial dan politik umat pada waktu itu. Muawiyah memisahkan Qadhi dan Ulama, sehingga posisi qadhi atau hakim menjadi sebuah jabatan profesi. Beliau juga memodernisasi militer sehingga lebih professional dalam menjalankan tugas, kendati sering digunakan untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.
     Muawiyah juga memiliki prestasi lain di bidang politik luar negeri. Penyebaran Islam ke luar yang telah dimulai sejak era Umar bin Khattab diteruskan oleh Muawiyah dengan mengirim pasukan ke Afrika Utara (wilayah Maroko sampai Tunisia) untuk menghadapi pasukan Barbar yang menguasai daerah tersebut dan sering mengancam wilayah Mesir. Sebagai respons, gubernur Mesir, Amr bin Ash menunjuk panglima Uqbah untuk menghadapi kekuatan Barbar dan akhirnya berhasil menguasai Qairawan di Maroko sampai ke sebelah selatan Tunisia. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun di mulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia tehadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium.
     Khalifah Yazid merupakan putera dari Muawiyah. Beliau lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M, Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikan dirinya. Yazid menjabat sebagai Khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau mengangkat bai’at kepadanya. Khalifah Yazid kemudian mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk mengangkat bai’at kepada Yazid beserta warga hijaz secara keseluruhan. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdullah ibn Zubair.
     Bersamaan dengan itu, pengikut Ali melakukan rekonsolidasi kekuatan. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein ibn Ali. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekkah ke Kufah atas permintaan pengikut Ali yang ada di sekitar Kufah dan mengangkat Husein sebagai Khalifah. Akan tetapi, rombongan Husein yang tidak didukung oleh milisi atau tentara kemudian dihadang oleh pasukan Khalifah Yazid. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, sebuah daerah yang sekarang masuk ke wilayah Irak secara territorial. Tentara Husein yang tidak bersenjata lengkap kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala.
     Pasca-kematian Hussein, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah. Abdullah bin Zubair adalah putera dari Zubeir bin Awwam, seorang sahabat nabi yang juga adalah golongan awal masuk Islam  Ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakar, puteri Abu Bakar Ash-Shiddiq.Posisi ayahnya sangat dihormati di kalangan muhajirin, dan ayahnya juga bersama Aisyah terlibat pada perang Jamal. Posisi Abdullah bin Zubair menguat tanpa bisa dicegah oleh Khalifah Yazid sebelum kematiannya.
     Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai Khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun. Berbeda dengan ayahnya, ia bukan seseorang yang berwatak keras atau menyukai peperangan. Tak banyak literatur yang membahas tentang Khalifah ini secara lengkap. Ia memerintah kurang lebih 40 hari, dan meletakkan jabatan sebagai khalifah sebelum wafat tiga bulan kemudian. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab khilafah yang besar itu. Dengan wafatnya, maka habislah keturunan Muawiyah dalam melanggengkan kekuasaan dan berganti ke Bani Marwan, yaitu Marwan bin Hakam.
     Sebelumnya, Marwan bin Hakam adalah penasehat Khalifah Utsman dan turut berada di barisan Muawiyah ketika awal-awal dinasti Umayyah dan konflik dengaan Ali. Masa pemerintahannya tidak meninggalkan jejak yang penting bagi perkembangan sejarah Islam.
     Hal menarik yang patut dicatat adalah menguatnya pengaruh Abdullah bin Zubair bin Awwam di daerah Hijaz, Nejd, dan Yaman sehingga ia berhasil mengonsolidasi kekuatan pada era tersebut. Abdullah bin Zubair telah bertransformasi menjadi kekuatan penekan (pressure group) yang sangat efektif; Ia mengorganisasi kekuatan militer di Mekkah dan Madinah serta menjadi khalifah setelah dibai’at oleh orang-orang Hijaz. Atas dasar ini, maka pemerintahan Muawiyah ibn Yazid, Marwan bin Hakam, dan Abdul Malik bin Marwan ( di masa awal pemerintahannya ) adalah tidak sah. Sebab, mereka berkuasa di Syam pada saat pemerintahan Abdullah ibn Zubair. Inilah pendapat sebagian besar sejarawan.
     Khalifah Marwan bin Hakam masih belum dapat mencegah kekuatan Abdullah bin Zubair secara penuh. Khalifah Marwan wafat dalam usia 63 tahun dan masa pemerintahannya selama 9 bulan 18 hari. Abdul Malik ibn Marwan dilantik sebagai Khalifah setelah kematian ayahnya, pada tahun 685 M. Dibawah kekuasaan Abdul Malik, kerajaan Umayyah mencapai kekuasaan. Hal yang terlebih dulu dilakukan oleh Khalifah Abdul Malik adalah menyatukan kembali kekuatan politik Bani Umayyah yang sempat terpecah di era sebelumnya. Khalifah Abdul Malik kemudian mengorganisasi kekuata militer untuk menghadapi kelompok Abdullah bin Zubair yang menguasai Hijaz.
     Pada akhirnya, kekuatan Abdullah bin Zubair terdesak. Pasukan Bani Umayyah dapat menguasai kota Mekkah, benteng pertahanan terakhir dari Abdullah bin Zubair dan membunuh Abdullah bin Zubair. Dikuasainya Hijaz ini kemudian mengakhiri pemberontakan orang-orang Hijaz dan secara otomatis menyatukan kembali kekuatan Bani Umayyah pada satu kepemimpinan. Sejak itulah Abdul Malik secara legal menjadi khalifah kaum muslimin. Abdullah ibn Zubair memerintah  selama kurang lebih Sembilan tahun.
     Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayah yang disebut-sebut sebagai “Pendiri kedua” bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fikih. Khalifah Abdul Malik sebagai Khalifah yang tegas, perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan dunia Islam. Ia memiliki kontribusi penting dalam tata moneter dunia Islam.
     Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga memiliki kontribusi dalam penyebaran Islam. Politik Luar Negeri yang berbasis pada penyebaran Agama Islam ke luar daerah juga menuai hasil yang cukup signifikan, antara lain dengan berhasil dikuasainya Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana, dan Samarkand di Asia Kecil yang sekarang masuk ke teritori negara Uzbekistan serta Kazakhstan     Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaanya, seperti al-Hajjaj ibn Yusuf yang gagah berani di medan perang, dan Abdul Aziz, saudaranya yang dipercaya memegang jabatan sebagai gubernur Mesir.beliau wafat pada tahun 705 M / 86 H dalam usia yang ke-60 tahun, dan diganti oleh putranya yang bernama al-Walid.
     Pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, telah terjadi kemapanan politik yang mengakhiri periode transisi. Gerakan-gerakan oposisi dan kelompok penekan telah dipadamkan sehingga kekuatan Khalifah Walid cukup kuat. Dengan adanya kemapanan ini, kebijakan Khalifah Walid lebih berkonsentrasi pada konsolidasi politik dan pelaksanaan politik luar negeri dengan menyebarkan Islam ke daerah lain dengan kekuatan dan sumber daya yang dimiliki.
     Pada era ini, tekanan dari penduduk Hijaz telah mereda dan tidak lagi mengancam eksistensi kekuasaan khalifah. Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi diberi kebebasan untuk memerintah daerah Irak. Kebijakan khalifah Walid lebih berorientasi pada ekspansi dan pengembangan sayap dakwah Islam ke wilayah-wilayah lain. Khalifah Al-Walid memiliki bangunan sumber daya yang cukup kuat untuk melaksanakan politik luar negerinya tersebut. Pada masa ini, penyebaran Islam mengalami momentumnya tersendiri/ tercatat suatu peristiwa besar, yaitu perluasan wilayah kekuasaan dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai ke Andalusia (Spanyol) dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziad. Perjuangan panglima Thariq bin Ziad mencapai kemenangan, sehingga dapat menguasai kota Cordoba, Granada dan Toledo yang merupakan wilayah kekuasaan Roderik, penguasa Gothik yang memerintah wilayah Spanyol dan Portugal.
     Khalifah Walid bin Abdul Malik juga berhasil menyebarkan Islam sampai ke India di bawah kepemimpinan Muhammad bin Qasim. Kemenangan pasukan Islam di Punjab kemudian memberi peluang untuk masuk ke India yang sangat kental kekuatan Hindunya. Muhammad bin Qasim kemudian berhasil memasuki India hingga menguasai Delhi yang kelak menjadi  kekuatan Islam di India. Walid bin Abdul Malik menjadi seorang Khalifah yang dikenal luas oleh publik internasional sebagai pemimpin yang disegani. Khalifah Walid berhasil mendesak kekuatan kaum Gothik di Spanyol serta mulai menyebarkan Islam ke segenap penjuru Asia. Hal ini tak lepas dari struktur militer yang professional yang telah dibangun oleh pemerintah pada waktu itu. Militansi kekuatan militer cukup tinggi, terlihat dari berhasilnya pasukan Thariq bin Ziyad dalam menaklukkan Spanyol, padahal kekuatan Gothik masih begitu kuat dan pasukan yang dikirim tidak terlalu besar kuantitasnya.
     Sulaiman Ibn Abdul Malik menjadi Khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Menjelang saat terakhir pemerintahannya beliau memanggil Gubernur wilayah Hijaz, yaitu Umar bin Abdul Aziz, yang kemudian diangkat menjadi penasehatnya. Umar bin Abdul ‘Aziz pada dasarnya adalah seorang ulama. Hal inilah yang menyebabkan posisinya cukup kuat di kalangan ulama Mekkah dan Madinah, di samping faktor nasab beliau yang juga merupakan cucu dari Khalifah Umar bin Khattab.
     Pada era pemerintahannya, penaklukan Romawi menemui kendala. Satu-satunya jasa yang dapat dikenangnya dari masa pemerintahannya ialah menyelesaikan dan menyiapkan pembangunan Jamiul Umawi yang terkenal megah dan agung di Damaskus.
     Sulaiman ibn Abdul Malik dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana. Para pejabatnya terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa  di masa para pendahulunya disiksanya, seperti keluarga al-Hajjaj ibn Yusuf dan Muhammad ibn Qasim yang menundukkan India. Ia menunjuk Umar ibn Abdul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada tahun 99 H. Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah pada usia 37 tahun . Ia terkenal adil dan sederhana. Hepi Andi Basthoni dalam sebuah bukunya bahkan membandingkan figur keulamaannya dengan kepemimpinan yang merupakan warisan dari kakek beliau, Umar bin Khattab.
     Beliau adalah cucu dari Khalifah Marwan bin Hakam (dari Bapak beliau, Abdul Aziz bin Marwan) dan sepupu dari Sulaiman bin Abdul Malik. Berbeda dari khalifah sebelumnya yang memiliki karakter politisi, karakter yang melekat pada diri beliau adalah karakter keulamaan. Semua Umar II dengan tegas menolak jabatan kekhalifahan yang ditunjuk oleh pendahulunya, Sulaiman. Karena terus didesak oleh kaum muslim, akhirnya menerima amanah umat tersebut yang menurutnya merasa tidak ringan itu. Buktinya, pada umumnya seperti layaknya orang baru menerima anugrah jabatan, pasti seseorang mngucapkan alhmadulillah sebagai anugrah Tuhan, justru Umar II sebaliknya; ia mengucap Innalillahi wa Inna ilaihi Raajiun, seperti orang yang baru terkena musibah.
     Setelah menjadi khalifah ia kirim segala kekayaan ke kas negara, termasuk kekayan pribadi ibu negara Hal ini yang menyebabkan kezuhudan beliau selama memerintah dengan kesederhanaan yang melekat pada kepribadian beliau. Masa pemerintahan beliau sangat singkat, hanya dalam 2  tahun lebih. Sebuah cerita yang dilukiskan oleh Hepi Andi pada bukunya cukup untuk menyadarkan kita akan pentingnya kesederhanaan. Pada cerita yang diambil pada sebuah atsar tersebut, terlihat bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak ingin menggunakan lampu yang dibiayai oleh Baitul Mal untuk keperluan pribadinya. Beliau mematikan lampu ketika anak beliau datang ke kantor pemerintahan. Kesederhanaan beliau disinggung dalam berbagai kitab Tarikh dan menjadi teladan bagi pemimpin dunia.
     Sehingga, wajar jika banyak yang menyebut beliau sebagai Umar II, yang memang mewarisi sikap sederhana dari Khalifah Umar bin Khattab. Ketika dinobatkan sebagai Khalifah, beliau segera menegaskan sebuah komitmen dan frame kebijakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan pembangunan negeri yang berada dalam naungan Islam lebih baik daripada menambah perluasan ke wilayah lain. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri dan konsolidasi serta ishlah pada beberapa kelompok yang sempat bertikai dengan khalifah sebelumnya.
     Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, beliau berhasil menjalin hubungan baik dengan kelompok Syi’ah dan Khawarij yang pada saat itu telah memulai langkah untuk menjadi sebuah faksi teologis di Bani Umayyah.. Posisi beliau sebagai gubernur Hijaz memudahkan rekonsiliasi dengan penduduk Mekkah dan Madinah, ditambah dengan figure keulamaan dan kezuhudan yang melekat dalam kepribadian beliau.
     Umar ibn Abdul aziz berusaha memperrbaiki segala tatanan  yang ada pada masa kekhalifahanya, seperti menaikkan gaji untuk para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan member santunan kepada para fakir dan miskin, memperbaharui dinas pos, menyamakan kedudukan orang-orang non Arab yang menempati sebagai warga Negara kelas dua, dengan orang-orang Arab, mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru.
     Umar ibn Abdul Aziz termasuk khalifah ketiga yang besar, meskipun masa pemerintahannya sangat pendek, namun Umar merupakan  “ lembaran Putih “ Bani Umayyah dan sebuah periode yangberdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh kebijaksanaan – kebijaksanan Daulah Umaiyah yang banyak disesali. Beliau merupakan personifikasi seorang khalifah yang taqwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
     Sayangnya, masa pemerintahannya tergolong singkat yaitu tidak sampai 3 tahun. Umar II yang naik tahta pada usia 35 tahun, harus sudah meninggal pada usia 38 tahun. Kematiannya dikaitkan dengan kecemburuan keluarga Khalifah sebelumnya, yang mengangkat khalifah bukan dari keturunannya. Cuma sepupu, padahal, Sulaiman punya anak dan saudara yang lebih berhak untuk menggantikannya, kematian Umar II ini konon karena di racun pembantunya. Periode ini merupakan awal dari kemunduran Bani Umayyah.
C.    Konstruksi Politik Bani Umayyah
     Sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb sebagai khalifah adalah sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Pergantian kepemimpinan dilakukan dengan pewarisan ke putera mahkota (dari ayah ke anak atau saudara) dan dilakukan dengan mekanisme penunjukan, bukan lagi Syuro. Khalifah lebih berfungsi sebagai Raja, berbeda dengan Khalifah di era Khulafaur-Rasyidin. Sistem monarki yang terbangun juga menempatkan Bani Umayyah sebagai kaum bangsawan dan lingkaran kekuasaan.
     Hal ini berbeda dengan paradigma kekuasaan pada era sebelumnya yang menempatkan Khalifah sebagai pemegang amanah umat. Sehingga, seorang Khalifah pada saat itu merupakan sebuah konsensus dari umat Islam yang dipilih dengan mekanisme yang syar’i. Seorang Khalifah ketika era Khulafaur Rasyidin menempatkan kesederhanaan dan kezuhudan sebagai bagian tak terpisahkan dari seorang Khalifah. Ketika Muawiyah menjadi khalifah, paradigma ini secara otomatis berubah.
     Implikasi pertama yang menyertai konstruksi monarki ini adalah berubahnya pola kekuasaan. Otoritas tertinggi ada pada khalifah, sehingga pada waktu itu seorang khalifah harus ditaati perintahnya.
     Implikasi kedua adalah sentralisasi dan absolutisme kekuasaan yang begitu kental. Peran seorang khalifah dalam menentukan kebijakan sangat besar. Gubernur tidak diperkenankan membuat kebijakan sendiri –terutama ketika periode transisi—dan peran Khalifah dalam pembuatan keputusan sangat dominan. Dampak positif dari kekuasaan yang sangat sentralistik ini adalah ketepatan strategi dalam mengatasi pemberontakan, tetapi hal ini juga berdampak negatif pada kemunculan kelompok-kelompok penekan dan potensi ketidakadilan yang sangat tampak.
     Implikasi ketiga adalah berkurangnya peran ulama dari lingkaran kekuasaan. Kecuali pada era Umar bin Abdul Aziz, peran ulama tidak sesentral era Khulafaur Rasyidin sehingga kecenderungan pemerintahan di Bani Umayyah ini tidak memasukkan ulama. Para ulama menjauh dari lingkaran elit istana; mereka hanya memberi fatwa dan nasehat di kalangan masyarakat. Kendati demikian, pemerintah terkadang meminta fatwa kepada para ulama berkaitan dengan sebuah permasalahan tertentu tanpa ada implikasi-implikasi lain.
     Implikasi keempat adalah kekuasaan ada pada sekeliling istana saja. Kelompok dari luar Bani Umayyah tidak memiliki akses pada pemutus kebijakan sehingga menimbulkan beberapa gejolak. Sistem monarki tidak memungkinkan adanya orang dari kelompok lain memegang tampuk kekuasaan, sehingga muncul gerakan-gerakan yang ingin merebut kekuasaan, seperti Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Implikasi inilah yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Umayyah.
     Seperti dijelaskan di atas, sistem pemerintahan Bani Umayyah yang monarki, konstruksi oposisi secara otomatis terbangun dengan gerakan politik ekstra kekuasaan dan pemberontakan. Dalam konteks sejarah Bani Umayyah, pemberontakan banyak yang dapat dipadamkan oleh Khalifah. Akan tetapi, ada dua gerakan yang menarik untuk diulas dalam hal ini, yaitu gerakan yang dibangun oleh Abdullah bin Zubeir bin Awwam di Hijaz dan gerakan yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah di Kufah. Kedua gerakan ini eksis dalam rentang waktu yang cukup lama dan memiliki legitimasi dari kelompok dan daerah masing-masing.
     Pertama, gerakan Abdullah bin Zubeir. Gerakan ini merupakan stimulasi kekecewaan warga di daerah jazirah Arab (Hijaz dan sekitarnya) atas kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan dan khalifah di bawahnya. Gerakan in mengakar pada kekecewaan atas sikap Muawiyah yang secara taktis merebut kekuasaan atas Ali dengan perundingan yang dianggap tidak fair (peristiwa tahkim). Pasca pembantaian Karbala yang melahirkan Syiah sebagai faksi teologis tersendiri, penduduk Hijaz membai’at Abdullah bin Zubeir sebagai Khalifah dan mulai mengkonsolidasi diri.
     Abdullah bin Zubeir yang mendapat legitimasi politik dari orang-orang Mekkah dan Madinah mulai membangun pertahanan di Mekkah. Kedekatan Abdullah bin Zubeir dengan kaum ulama semakin memperkokoh kedudukannya sebagai pemimpin oposisi, ditambah dengan melemahnya kekuatan Damaskus sepeninggal Muawiyah. Konstruksi gerakan oposisi ini merupakan respons atas terbunuhnya Husein bin Ali dan hilangnya hak politik Hasan bin Ali oleh Damaskus.
     Namun, ternyata rekonsolidasi kekuatan Bani Umayyah di era kepemimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan berhasil mengalahkan kekuatan oposisi yang telah terbangun tersebut. Di sini, menarik untuk dicermati bahwa pemerintahan yang kuat dapat melemahkan gerakan oposisi. Apalagi dengan tampilnya Abdul Malik bin Marwan dengan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi sebagai pemimpin perang yang ahli dalam strategi, Bani Umayyah menjadi semakin kuat dan tangguh.
     Fenomena berbeda justru terjadi pada kekuatan oposisi yang dibangun oleh Abul Abbas As-Saffah. Mereka memanfaatkan ketidakadilan yang dialami oleh kelompok mawalli (non-Arab) yang merasa dinomorduakan pada kepemimpinan Bani Umayyah, kecuali era Umar bin Abdul Aziz. Gerakan Abbasiyah juga memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan gerakan dengan aksi-aksi yang laten namun mengancam eksistensi pemerintahan. Isu-isu yang dibawa oleh gerakan, didukung oleh kekuatan eksternal dari orang-orang mawalli, efektif sebagai gerakan oposisi yang mengancam kekuasaan.
     Pasca-era Hisyam bin Abdul Malik, pemerintahan Bani Umayyah telah menjadi pemerintahan yang lemah. Lemahnya pemerintahan, hilangnya figur Khalifah yang strategis, serta efektivitas gerakan telah menguatkan posisi gerakan Abbasiyah. Hingga akhirnya kelompok ini bertransformasi menjadi gerakan politik total yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750 M     Khalifah Muawiyah melanjutkan usaha Khalifaur Rasyidin dalam penyebaran dakwah ke wilayah lain. Kali ini, wilayah Asia Kecil seperti Balkh, Bukhara, Samarkand, atau Khawarizm di Iran Utara berhasil dikuasai. Wilayah Afrika Utara dari Maroko sampai ke Tunisia dan Sahara Barat juga dapat menerima dakwah Islam. Prestasi ini bahkan berlanjut sampai ke Eropa dan India di era Walid bin Abdul Malik. Sehingga, secara territorial wilayah umat Islam terbentang dari Pegunungan Pyrennia di Spanyol sampai ke Delhi di India.
     Perluasan wilayah ini merupakan salah satu parameter keberhasilan dari politik luar negeri yang dibangun oleh umat Islam pada era Bani Umayyah tersebut. Dengan adanya batas territorial baru tersebut, hubungan antara umat Islam dengan bangsa lain di luar Timur Tengah juga menjadi semakin intensif dan hubungan perdagangan pun dibuka dengan bangsa lain. Ketika itu, Damaskus telah bertransformasi menjadi pusat peradaban yang menampilkan Islam sebagai sebuah peradaban.
     Selain itu, umat Islam juga telah menjadi kekuatan politik internasional baru yang mewarnai dunia. Bani Umayyah yang secara gemilang melakukan penyebaran dakwah menjadikan Islam tidak hanya menjadi milik bangsa Arab, tetapi telah menjadi sebuah agama yang dianut oleh bangsa lain. Bertambah luasnya teritorial umat Islam ini juga berdampak pada struktur birokrasi pemerintahan pada Bani Umayyah. Sebagai implikasi munculnya daerah baru, pada saat itu muncul gubernur-gubernur yang memerintah daerah baru tersebut sebagai wakil dari pemerintah pusat. Adanya gubernur yang menjadi wakil administratif tersebut kemudian menambah pemasukan di Baitul Mal berupa jizyah dari orang non-muslim yang berada di wilayah kekuasaan umat Islam.
     Selain itu, bertambah luasnya teritori umat Islam tersebut juga memiliki implikasi bagi stratifikasi sosial baru di kalangan umat Islam. Muncul kemudian kelompok Arab dan Mawalli (muslim non-Arab) yang menempati strata sosial berbeda di masyarakat. Kelompok mawalli merasa dinomorduakan dan kemudian menjalin hubungan dengan Bani Hasyim untuk kemudian membentuk gerakan oposisi. Stratifikasi sosial ini juga tak lepas dari kebijakan politik Bani Umayyah yang tidak ingin kekuasaannya terancam.


D.    Perkembangan Ilmu Pengetahuan Masa Dinasti Bani Umayyah
     Meskipun para penguasa dinasti Bani Umayyah lebih mengutamakan usaha pengembangan wilayah kekuasaan dan memperkuat angkatan bersenjatanya, ternyata banyak juga usaha positif yang dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu yang mendorong ilmu pengetahuan berkembang adalah dengan memberikan motivasi dan anggaran yang cukup besar yang diberikan untuk para ulama, ilmuan, seniwan, dan sastrawan. Tujuannya  antara lain agar mereka bekerja maximal  dalam mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, tidak lagi memikirkan masalah keuangan rumah tangga mereka.
     Kemajuan ilmu agama mulai brkembang pada da masa Khalifah Abdul Malik sebagai contoh Sibawaih yang berhasil menyusun kitab Nahwu dan sharaf, Khalifah Abdul Malik juga perhatian kepada tafsir, hadits, fikih dan ilmu kalam, di zaman inilah dimulai dan muncul nama-nama seperti Hasan al- Basri, az-Zuhri dan Washil bin Atha`. Dalam lapangan sosial budaya, bani Umayyah telah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri-negeri taklukan yang terkenal memiliki tradisi yang luhur seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya. Hubungan itu lalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan di bidang seni dan ilmu pengetahuan. Di lapangan seni, terutama seni arsitektur, Bani Umayyah mencatat prestasi puncak, seperti Qubah as- Shakhra di Yerusalem menjadi monument terbaik yang hingga kini tak henti-hentinya di kagumi orang.
     Pemerintahan Bani Umayyah juga mempunyai keistimewaan lain, yaitu terdapatnya peluang yang cukup sepanjang kurun kekuasaanya bagi perkembangan berbagai aliran yang tumbuh di masyarakat. Meskkipun sebagian aliran itu boleh jadi dikehendaki perkembangannya oleh penguasa waktu itu, tetapi situasi yang tercipta disadari atau tidak telah memperkaya khazanah kebudayaan Islam yang universal. Aliran-aliran tersebut antara lain Syiah, Khawarij, dan Mu`tazilah.
     Pada masa Umar II  banyak sekali perilaku dan kebijakan-kebijakan yang dilakukannya mengandung  pelajaran yang patut di teladani dan di tiru, diantaranya:
a.   Sikap hidup yang sederhana, zuhud, dan wara. Fakta telah menyebutkan bahwa ia menyerahkan seluruh hartanya ke Bait al-Mal untuk kepentingan rakyat, bahkan kalung emas milik istrinya yang bernilai 10 ribu dinar mas pun diserahkanya, ia hanya menggunakan 2 dirham saja dari kekayaanya padahal sebelum menjadi khalifah kekayaanya sangat berlimpah.
b.   Demokratis dalam memimpin. Umar II selalu meminta pendapat penduduk setempat dalam hal pemilihan calon gubernur.
c.    Kesalehan dan kezuhudanya. Ia selalu duduk di tengah para sahabat nabi dan para perawi hadis, karena itulah ia dikenal sebagai sufinya dinasti umayyah.
d.   Mencintai ilmu pengetahuan terutama agama, ia mengutus sepuluh orang pakar hukum Islam ke Afrika Utara untuk mengajar dan menyebarkan ilmu mengajar hal-hal agama Islam di sana termasuk penyebaran ilmu sains dan ilmu kedokteran, ia mengirim dai-dai islam ke berbagai Negara  seperti di India, Turki, Asia tengah, Afrika, Andalusia. Dengan misi utama agar mereka masuk Islam. Ia juga memerintahkan semua warganya untuk berbondong-bondong untuk mempelajari hukum Islam di setiap bangunan terutama masjid dalam rangka menyebarkan ilmu pengetahuan. Selain itu ia juga menyuruh golongan cendekiawan muslim agar menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang termaktub dalam kitab-kitab berbahasa Yunani, latin, dan Suryani ke bahasa Arab, agar ilmu-ilmu dalam naskah-naaskah itu dapat dicerna oleh umat Islam yang menjaadi bahan kajian bagi cerdik cendekiawan saat itu.
e.   Keadilan dan kemanusiaan adalah dasar pemerintahan yang sangat diperhatikan oleh Umar II. Ia mengaplikasikan ajaran Islam yang berbicara tentang keadilan murni dalam kepemimpinanya, sehingga  Umar II dapat merangkul mawali dan berkurang jurang antara Arab dan Non Arab.
f.   Kebijakan musyawarah yang diterapkan Umar II dengan para sahabat nabi yang masih hidup dan para ulama yang soleh dalam hal memutuskan sesuatu supaya tidak menyimpang dari al-Quran dan hadis dan tidak merugikan masyarakat.
g.  Tanggung jawab dan mendahulukan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan diri dan keluarganya.
h.   Tegas dalam hal menegakkan hukum. Pada masa alWalid I sebuah gereja st Thomas di Damaskus di jadikan masjid, pada masa Umar II, gereja itu dikembalikan kepada umat Kristen.
i.   Tegas dalam memimpin, Umar II berani memecat pejabat Negara yang korup dan menggantikan dengan pejabat yang amanah. 

E.     Faktor-Faktor Kejatuhan Dinasti Bani Umayyah
1.   Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang  menempati Irak dan Arab Selatan ( Himyariyah ) yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Umaiyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para  khalifah cenderung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
2.   Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “ Mawali “, suatu status yang menggambarkan inferioritas di  tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan  beberapa orang di antara mereka mencapai tingkatan yang jauh di atas rata-rata orang Arab , tetapi harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan yang di berikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil di banding tunjangan yang di bayarkan kepada orang Arab.
3.   Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syiah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa-masa akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.
4.   Persaingan di kalangan anggota Dinasti Bani Umayyah membawa kelemahan kedudukan mereka.
5.   Hidup mewah di istana memperlemah jiwa dan vitalitas anak-anak khalifah yang membuat mereka tidak sanggup memikul beban pemerintahan yang sedemikian besar.
F.     Komparasi Al-Khulafa Al-Rasyidun Dan Dinasti Umayyah
1.    Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun system pemerintahan dijalankan atas dasar al-Quran, hadis dan ijma’, sedangkan pada masa dinasti Umayyah dalam menjalankan roda pemerintahan, perintah kholifah segala-galanya dan harus dipatuhi.
2.    Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidun, khalifah menganggap sebagai pelayan masyarakat, sedangkan para khalifah dinasti Umayyah menganggap diri mereka sebagai penguasa.
3.    Pada khulafa ar-Rasyidun bertahan karena dukungan rakyat, sedangkan masa dinasti Umayyah bertahan dengan kekuatan.
4.    Pada masa khulafa ar-Rasyidun tidak ada satu suku yang berkuasa terus menerus, sedangkan pada masa Dinasti Umayyah dalam kekhalifahan hanya merekalah yang menguasai.
5.    Pada masa khulafa ar-Rasyidun hak berbicara dijamin dan rakyat dapat langsung menghadap khalifah sedangkan pada masa Dinasti Umayyah hak bicara rakyat ditekan dan jika rakyat menghadap khalifah harus melewati perantara yang disebut hajib.
6.    Pada masa khalifa ar-Rasyidun system demokrasi berjalan, sedang pada masa Dinasti Umayyah suara rakyat tidak dihiraukan.
7.    Pada masa khulafa ar-Rasyidun tidak memliki hak terhadap bait al-Mal sedang pada Dinasti Umayyah bait al-Mal menjadi milik khalifah sendiri.
8.  Pada masa khulafa ar-Rasyidun pengaruh jahiliah berkurang, sementara pada masa Dinasti Umayyah bertambah.
9.  Pada masa khulafa ar-Rasyidun khlaifah hidup sederhana dan dianggap orang biasa, namun sebaliknya para khalifah Dinasti Umayyah hidup dengan serba kemewahan seperti raja-raja Persia dan Bizantium
10.  Pada masa khulafa ar-Rasyidun khalifah merangkap ahli hukum, agama, dan sangat menghargai alim ulama. Sedangkan jaman Dinasti Umayah para ulama di istirahatkan dari dunia politik.
11.  Pada masa khulafa ar-Rasyidun gerak-gerik khalifah tentang urusan agama dibatasi oleh syari’ah sedangkan pada masa Dinasti Umayyah khalifah memerintah seenaknya.
12.  Pada masa khulafa ar-Rasyidun Majelis Syura’ di atas khalifah dan keluarga, sedangkan pada masa Dinasti Umayyah anggota majelis Syura’ diangkat dari dan oleh keluarga dan kaum kerabat khalifah.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari analisis di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa :
1.  Sejarah dinasti Umayyah tak dapat dilepaskan dari peristiwa sebelumnya, yaitu konflik horizontal antara faksi Muawiyah dan Ali sebagai Khalifah pada waktu itu. Momentum perseteruan terjadi pada Perang Shiffin, ketika pasukan dua golongan bertemu. Perang ini diakhiri dengan peristiwa Tahkim yang menandai pembagian kekuasaan antara Muawiyah dan Ali, hingga terbunuhnya Ali.
2.   Dinasti Umayyah yang terbentang mulai tahun 661 M – 750 M telah mengalami dinamika dan pasang-surut kepemimpinan. Faktor Khalifah atau aktor yang menjadi pemutus kebijakan tertinggi menjadi sangat penting bagi kekuatan Dinasti. Ketika Khalifah yang berkuasa kuat, kedaulatan Bani Umayyah pun juga menjadi kuat.
3.   Bani Umayyah telah membangun konstruksi politik yang sedemikian besar ketika berkuasa. Konstruksi kekuasaan dibangun dengan mekanisme kerajaan atau monarki, sehingga berimplikasi pada bergesernya pola orientasi kekuasaan, sentralisme kekuasaan pada Khalifah yang berdampak pada absolutisasi kebijakan Khalifah, berkurangnya peran ulama dalam pembuatan keputusan, serta munculnya lingkaran elit yang berbasis istana dengan dominasi kelompok-kelompok di sekeliling Khalifah.
4.   Konstruksi Oposisi terbentuk dengan adanya ketidakpuasan atas Khalifah dengan dua aktor utama: Abdullah bin Zubair dan Abul Abbas As-Saffah. Gerakan Abdullah bin Zubair dapat dihancurkan dengan kekuatan Khalifah yang begitu kuat, sementara Abul Abbas As-Saffah tak dapat dikalahkan dengan mudah dan akhirnya berhasil merebut kekuasaan.
5.   Konstruksi politik luar negeri dibangun dengan dasar penyebaran Islam melalui penaklukkan-penaklukkan. Umat Islam berhasil mengembangkan territorial kekuasaan mereka hingga Spanyol di ujung barat dan India di ujung selatan.
DAFTAR PUSTAKA

http://zudi-pranata.blogspot.com/2013/03/memahami-perkembangan-pada-masa-bani.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar