BAB 15
ASPEK KEPERILAKUAN PADA AUDIT INTERNAL
A. PENDAHULUAN
Audit pada saat ini telah menjadi
bagian penting dalam dunia akuntansi, khususnya aspek-aspek yang terkait dengan
proses pengambilan keputusan dan aktivitas-aktivitas auditor dalam
mempertimbangkan sesuatu sebelum mengambil keputusan. Terdapat banyak hal yang
dapat dipertimbangkan sebagai data pendukung dalam pengambilan keputusan yang
mengarah pada aspek keperilakuan auditor.
Salah satu karakteristik yang
membedakan akuntan publik dengan auditor internal berkaitan dengan keterikatan
secara pribadi. Akuntan publik terikat dengan catatan-catatan suatu organisasi
dan prinsip-prinsip akuntansi yang dibangun oleh badan profesi akuntansi.
Sebaliknya, auditor internal terkait dengan aktivitas-aktivitas manajemen dan
orang-orang yang menjalankan operasi organisasi.
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa audit internal mengevaluasi aktivitas yang dilakukan oleh
orang-orang sehingga terdapat hubungan pribadi antara orang yang dievaluasi
dengan orang yang mengevaluasi dengan para auditor.
B. MEMOTIVASI
PIHAK YANG DIAUDIT
Sebagaimana diketahui, motivasi
merupakan alat bantu keperilakuan terbesar bagi audit internal. Dua dari
kebutuhan pokok Maslow adalah kebutuhan untuk menjadi bagian dari organisasi
dan kebutuhan untuk diterima dan dikenal, sehingga dapat melayani auditor
internal secara baik.
Kebutuhan menjadi bagian dari organisasi. Bagian audit merupakan bagian dari
keseluruhan organisasi yang berdedikasi untuk memperbaiki operasi organisasi
tersebut. Pihak yang diaudit dapat dijanjikan bahwa pendapat mereka akan
diterima dan dipertimbangkan untuk dimasukan dalam pertimbangan keseluruhan
manajemen guna memperbaiki kondisi operasi organisasi. Menghormati diri sendiri dan orang
lain. Kebutuhan akan rasa dihormati ini dapat dikaitkan dengan
keyakinan pihak yang diaudit untuk bertindak langsung dalam kerja sama dengan
staf audit untuk mengidentifikasi bidang-bidang yang bermasalah, membantu dalam
mengidentifikasi kinerja, serta mengembangkan tindakan-tindakan korektif.
C. HUBUNGAN
DENGAN GAYA MANAJEMEN
Terdapat empat gaya manajemen
(kepemimpinan) secara umum. Empat gaya tersebut meliputi gaya mengarahkan, gaya
melatih, gaya mendukung, dan gaya mendelegasikan. Menggunakan suatu pendekatan
audit yang konflik dengan filosofi manajemen dari manajemen pihak yang diaudit
akan menyebabkan audit kesulitan dalam perolehan bantuan serta kerja sama
secara sukarela.
Dari empat gaya tersebut, gaya
pertama dan gaya keempat merupakan gaya yang terpenting. Pada gaya pertama,
auditor seharusnya mencoba untuk bekerja sama dengan seluruh manajemen dalam
proses audit sehingga dapat meyakinkan pihak manajeman bahwa auditor berada di
pihak mereka dan mempunyai tujuan untuk mengembangkan desain guna membantu
memperbaiki operasi.
Pada gaya keempat, auditor
seharusnya mengambil pendekatan bahwa mereka merupakan bagian dari tim
manajemen dan bertindak sebagai rekan kerja atau konsultan.
D. PENGELOLAAN
KONFLIK
Dalam hal perubahan, konflik sering
kali terjadi pada proses audit. Konflik terjadi dalam hal lingkup (manajemen),
tujuan (auditor eksternal), tanggung jawab (layanan manajemen), dan nilai.
Dalam bidang akuntansi, konflik
dapat terjadi antara auditor yang cenderung mempertahankan profesionalismenya
dan pihak yang diaudit yang cenderung mempertahankan lembaga atau keinginannya.
Oleh sebab itu terdapat empat metode khusus yang secara umum digunakan untuk
menyelesaikan konflik, yaitu arbitrasi, mediasi, kompromi, dan langsung.
E. MASALAH-MASALAH
HUBUNGAN
Brink dan Witt (1982) mempunyai
daftar konsep yang akan membantu untuk memperlakukan orang dengan lebih baik.
Konsep-konsep tersebut adalah:
1. Terdapat
variasi umum dalam kemampuan dan sifat-sifat dasar individu, oleh sebab itu auditor seharusnya
mempertimbangkannya dalam kaitannya dengan karyawan pihak yang diaudit.
2. Keberagaman
perasaan-perasaan dan emosi,
sehingga auditor seharusnya mengidentifikasi keberagaman perasaan dan mencoba
menangani hal tersebut secara efektif.
3. Keberagaman
persepsi. Staf
pihak yang diaudit tidak memandang dengan cara yang sama seperti yang dilakukan
oleh staf audit.
4. Ukuran
kelompok pihak yang diaudit dapat berpengaruh pada hubungan. Auditor diharuskan untuk
memodifikasi pendekatan secara teknis ketika menghadapi kelompok yang lebih
luas.
5. Pengaruh
dari berbagi situasi operasi sebagai suatu variasi akhir. Setiap perubahan situasi
mempengaruhi perasaan dan tindakan seseorang, auditor seharusnya memasuki
variasi ini ke dalam pertimbangannya pada hubungan interpersonal.
F. KARAKTERISTIK
UMUM INDIVIDU
Sifat yang muncul pada berbagai
tingkatan dalam setiap individu dari pihak yang diaudit, meliputi:
1. Menjadi produktif, sibuk pada
pekerjaan-pekerjaan yang bermakna.
2. Mempunyai dorongan ke arah dedikasi
terhadap suatu usaha yang dianggap penting.
3. Mempunyai keinginan untuk melayani
dan memberikan bantuan kepada individu lain.
4. Bebas untuk memilih guna mendapatkan
independensi dan kebebasan pilihan.
5. Memiliki sifat yang adil dan jujur.
6. Memiliki bias pada diri sendiri,
tercermin pada sikap yang lebih suka dipuji dibandingkan dengan dikritik.
7. Mencari kepuasan diri sendiri.
8. Memiliki nilai untuk mendapatkan
imbalan atas usaha-usahanya.
9. Bersikap seperti orang-orang yang
patuh dan dapat beradaptasi secara baik.
10. Menjadi bagian dari tim yang sukses.
11. Memiliki rasa haru atas bencana yang
menimpa orang lain.
12. Memiliki keterkaitan pada
pemaksimalan kepuasan diri sendiri.
13. Lebih cenderung untuk sensitif
dibandingkan dengan membantu orang.
G. KESADARAN
PADA DIRI SENDIRI
Dalam suatu situasi dimana banyak
hubungan interpersonal, hal terpenting adalah untuk menyadari dan memegang
teguh keseimbangan serta untuk memandang diri sendiri sebagaimana orang lain
memandangnya (Ratcliff et al., 1988). Elemen-elemen utama tersebut adalah:
1. Adanya pengetahuan terhadap kekuatan
dan kelemahan orang lain dalam hubungan secara mental, fisik, emosional, dan
karakteristik pribadi.
2. Rasa memiliki terhadap produktivitas
dan kepuasan kelompok kerja.
3. Kesadaran terhadap perintah dasar
dalam lingkungan relatif yang dimiliki seseorang, dimana orang tersebut harus
menyesuaikan diri dengan kelompok organisasi yang luas.
4. Suatu keinginan untuk melayani
kebutuhan-kebutuhan orang lain.
5. Suatu perasaan memiliki atas
produktivitas yang didasarkan pada ego seseorang.
6. Suatu perasaan keterpaduan yang
berasal dari kepercayaan bahwa seseorang berpartisipasi dalam suatu lingkungan
secara etis.
H. KOMUNIKASI
SECARA EFEKTIF
Komunikasi terdiri atas wawancara,
musyawarah, laporan lisan, dan laporan tertulis. Bahasa yang menggunakan
aksioma (pernyataan) seharusnya jelas, ringkas, bebas akronim (singkatan),
dalam struktur gramatikal yang baik, dan mengungkapkan isi dalam aturan
sederhana yang logis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
untuk menciptakan kominikasi yang efektif adalah:
1. Jangan bicara atau menulis dalam
bentuk langsung sebab auditor bukanlah bagian dari manajemen.
2. Jangan menggunakan istilah-istilah
yang berimplikasi pada kesalahn-kesalahan kerja dari pihak yang diaudit.
3. Jangan menjadikan pihak yang diaudit
sebagai pokok bahasan, baik secara verbal atau tertulis.
4. Pertimbangkan sifat ego pihak yang
diaudit ketika memberi saran.
5. Menjaga laporan dan memberikan
keadilan.
6. Jangan berargunen mengenai
moralitas.
7. Mengaitkan dengan kondisi lingkungan
ketika mencari penyebab dari temuanya.
8. Sepanjang proses penyusunan laporan
mengizinkan pihak yang diaudit untuk mengungkapkan pendapatnya.
9. Sopan dengan seluruh karyawan pihak
yang diaudit dan menyambut manajemen pihak yang diaudit dengan rasa hormat.
10. Melakukan pertemuan dan wawancara di
kantor pihak yang diaudit.
11. Mempertimbangkan kemungkinan tekanan
yang muncul dalam diri pihak yang diaudit.
I.
PELAKSANAAN AUDIT PARTISIPASI
Selain masalah perilaku pihak yang
diaudit, auditor internal juga perlu memahami budaya organisasi. Porter et al.
(1985) mengatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi sikap dan perilaku
auditor.
Elemen-elemen keperilakuan dalan
audit partisipasi:
1. Pada awal audit, tanyakan pada pihak
yang diaudit bidang mana yang akan diaudit.
2. Bangun suatu pendekatan kerja sama
dengan staf pihak yang diaudit dalam menilai pemrograman dan pelaksanaan audit.
3. Peroleh persetujuan dan rekomendasi
untuk tindakan koreksi.
4. Dapatkan persetujuan atas isi
laporan.
5. Memasukkan informasi nyata pada
laporan audit.
BAB 16
ASPEK KEPERILAKUAN PADA ETIKA AKUNTAN
A.
DILEMA ETIKA
Akuntan didalam aktivitas auditnya
memiliki banyak hal yang harus dipertimbangkan karena auditor mewakili banyak
konflik kepentingan yang melekat dalam proses audit. Konflik ini akan menjadi
sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang menyangkut
independensi dan integritasnya dalam imbalan ekonomis yang mungkin dijanjikan
disisi lain. Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena
auditor berada dalam situasi pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak
etis.
Penalaran
Moral
Penalaran moral dan pengembangan
memainkan peran kunci dalam seluruh area profesi akuntansi. Akuntan yang secara
kontinu dihadapkan pada dilema berada pada konflik nilai. Akuntan pajak
misalnya, ketika memutuskan kebijakan mengenai metode akuntansi yang akan
dipilih, membutuhkan waktu untuk memutuskan antara metode yang mencerminkan
sifat ekonomi sesungguhnya dari transaksi atau metode yang paling sesuai
menggambarkan perusahaan.
B.
MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS
Banyak sumber berbeda telah
menyajikan landasan konseptual tentang besaran riset perilaku etis akuntan.
Misalnya saja, kerangka kerja teoritis tentang pengambilan keputusan etis
dipinjam dari psikologi sosial.
Pendekatan
Kognitif Lingkungan Terhadap Pengembalian Keputusan Etis
Ketika banyak riset yang berhubungan
dengan perilaku etis individual untuk mengukur tingkat moral reasoning individual, telah berkembang pendekatan tambahan
yang membahas komponen lain dari model riset. Misalnya, mereka menyebutnya
skala etis multidimensional (sem) sebagai ukuran kesadaran modal, yang
merupakan komponen pertama dari model rest dan menghubungkan teori perencanaan
perilaku dengan komponen lain.
Reidenach mengembangkan sem untuk
fokus pada dinamika pengambilan keputusan yang melibatkan perilaku etis yang
belum diselidiki. Delapan skala likert yang bipolar dibagi kedalam tiga
dimensi, yaitu keadilan moral, relativisme dan kontraktualisme, yang dimasukkan
dalam ukuran. Skenario etis degunakan dengan memasukkan deskripsi atas situasi
tunggal sepanjang 100 kata. Flory et al, menggunakan SEM untuk mengkaji respon
etis terhadap 300 akuntan manajemen yang bersertifikat terhadap empat skenario
manajemen laba. Tujuan utama dari studi tersubut adalah memvalidasi penggunaan
SEM dalam konteks akuntansi. Ketika tujuan ini dicapai, gambaran yang
ditampilkan tidak mendukung variabilitas antar subjek, sehingga menghasilkan
perhatian pada validasi eksternal.
Cohen kemudian memperluas riset Reidabach
dan Robin terhadap situasi multinasional. Hasil untuk sampel subjek di
negara-negara Amerika Serikat dan lainnya menunjukkan munculnya konflik
tambahan yaitu utilitarianisme yang penting dalam pengambilan keputusan etis.
Sementara SEM dikritik sebagai gagal untuk memasukkan kerangka kerja psikolog
dalam proses ethical reasoning Flory merespon dengan menunjukkan bagaimana
ukuran ini secara teoritis berbeda dari karya pengembangan moral Kolhberg dan
Rest, serta bahwa ukuran ini mungkin menjadi alat yang lebih baik untuk
memahami proses moral reasoning akuntan.
Model
Alternatif Pengambilan Keputusan Etis
Noreen (1988), memperluas teori
agensi dengan membahas ekonomi etis dalam konteks kontrak. Didasarkan pada
minat individual, dia menyatakan aksi yang paling menguntungkan. Terdapat model
pengambilan keputusan etis lain yang dikembangkan secara spesifik untuk profesi
akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi dimana auditor dianggap
melanggar kode etik dan perilaku profesional AICPA, lampe dan finn membuat
model dari proses keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elimen
(pemahaman keuntungan, pengendalian dampak, keputusan lain, penilaian lain, dan
pengambilan keputusan final) untuk dibandingkan dengan model yang berbasis kode
etik dan perilaku profesional AICPA. Dengan cara yang sama, finn dan lampe
membuat model dari keputusan berkaitan dengan penyampaian pengaduan auditor.
Dalam mengomentari keadaan riset
saat ini dalam paradigma etika akuntansi, Machintosh yang mengadopsi perspektif
filosofi sosial, menyatakan bahwa riset saat ini menekankan suatu perspektif
yang hanya mengukur penerimaan sosial, dan bukannya perspektif etis yang
sesungguhnya. Ia menyatakan bahwa sementara riset sekarang menggunakan ukuran
etis alternatif, orang berperilaku agak etis atau kurang etis, ini adalah
masalah ini atau itu.
Terakhir, ia mempertanyakan
penggunaan metodologi positivistik saat ini dengan mencatat bahwa etika adalah
masalah nilai (apa yang seharusnya) dan bukan fakta (apa ini). Lebihlanjut
lagi, masalah ini semakin rumit dengan adanya fakta bahwa individu yang berbeda
mungkin menyampaikan sasaran normatif yang berbeda yang didasarkan pada konteks
dan individu masing-masing.
C.
RISET PERILAKU ETIS AKUNTAN
Bagian berikut mendefinisikan dan
menjelaskan empat area riset akuntansi utama yang menyelidiki tingkat moral
reasoning akuntan dan perilaku yang berhubungan, yaitu studi pendidikan etika,
studi pengembangan etika, studi penilaian etika, dan studi etika lintas budaya.
Studi pendidikan etika menyelidiki apakah pendidikan memengaruhi keahlian moral
reasonig siswa dalam program akuntansi.
Studi pengembangan etika berusaha
meningkatkan poin kerier mereka. Studi penilaian etika mengkaji hubungan antara
ukurn moral reasoning dengan perilaku spesifik dalam akuntansi, auditing, atau
perpajakan. Terakhir, studi etika lintas budaya menyelidiki perbedaan dalam
keahlian moral reasoning dan/atau keputusan etika akuntan dari belahan dunia
yang berbeda.
Studi
Pendidikan Etika
Studi pendidikan etika berusaha menentukan
efek pendidikan terhadap keahlian moral reasoning dari para praktisi dan
mahasiswa akuntansi. Sementara hasil dari banyak studi umumnya telah
menunjukkan bahwa pendidikan kampus secara positif berhubungan dengan pengaruh
tingkat moral reasoning individual, temuan dalam ranah akuntansi telah
menunjukkan bahwa akuntan pada umumnya tidak mengalami kemajuan pada tingkat
perkembangan moral sama seperti lulusan kampus lainnya.
M. Armstrong (1987)
Satu studi pertama yang menyelidiki
hubungan antara perkembangan moral dan riset perilaku dilakukan m. Armstrong
(1987). Tingkat moral reasoning dari CPA dibandingkan dengan yang sudah dan
belum lulus. Hal yang mengejutkan, skor DIT rata-rata CPA secara signifikan
lebih rendah dari pada kedua kelompok tersebut. M.armstrong (1987) menyimpulkan
bahwa para CPA yang menjadi responden kelihatannya mencapai tingkat kematangan
moral orang dewasa pada umumnya.
Ponemon Dan Glazer (1990)
Poneman dan glazer memperluas
penyelidikan ke dalam tingkat moral reasoning akuntan dengan membandingkan
mahasiswa dengan alumni untuk dua lembaga pendidikan yang terletak di daerah
timur amerika serikat. Lembaga yang pertama adalah suatu kampus seni liberal
swasta yang menawarkan jurusan akuntansi. Sementara lembaga yang kedua, american
assembly of colligiate school bisiness (AACSB) merupakan lembaga yang
terpandang dalam mengadakan program akuntansi.
St. Pierre, nelson dan gabbin (1990)
St pierre et al. Mengkaji hubungan
tingkat moral reasoning . sampel yang terdiri atas 479 mahasiswa senior dari
semua disiplin ilmu yang berbeda yang
terdiri atas jurusan bisnis dan non bisnis pada universitas ukuran menengah di
bagian timur Amerika serikat diminta untuk melengkapi DIT. Ukuran lain yang
dikumpulkan berkaitan dengan sbjek adalah jurusan, gender, dan paparan awal
terhadap etika dalam kurikulum formal.
Studi
Pengembangan Etika
Sementara studi pendidikan etika
mengkaji dampak pendidikan terhadap praktisi dan mahasiswa akuntansi, studi
pengembangan etika berfokus pada pengembangan moral reasoning dalam profesi
akuntansi. Beberapa studi misalnya menemukan bahwa posisi auditor dalam
perusahaan berbanding terbalik dengan tingkat moral reasoning. Riset memberikan
bukti kuat mengenai eksistensi sosialitan etis. Individu yang dipromosikan
mempunyai tingkat ethical reasoning yang serupa dengan manajemen. Bukti ini
mendukung keyakinan bahwa promosi individual dapat ditekan oleh budaya etika
perusahaan.
Ponemon (1990)
Ponemon
menyelidiki ethical reasoning dan penilaian praktisi akuntansi dalam perusahaan
publik. Lima puluh sua praktisi CPA dari bermacam-macam posisi diperusahaan
publik di daerah timur laut Amerika Serikat berpartisipasi dalam studi. Subjek
mengisi wawancara penilaian moral atau MJI dan paradigma auditing. Dilema
auditing dikembangkan dari studi kasus dari kehidupan nyata yang melibatkan
kantor akuntan publik dan dua klien audit besar.
Dilema tersebut
digambarkan sebagai serangkaian kejadian yang terjadi dalam suatu krisis dengan
kedua klien. Baik MJI dan dilema auditing diskor secara serupa, sehingga
memungkinkan untuk membandingkan secara langsung skor tersebut. Hasilnya
menunjukkan bahawa subjek tidak berbeda secara signifikan antara kedua dilema.
Studi
Keputusan Etis
Studi keputusan etis berfokus kepada
hubungan antara bermacam-macam ukuran dan perilaku terhadap bidang akuntansi.
Bagian berikut menelaah studi representatif yang mengkaji:
1.
Isu
independensi
2.
Pelanggaran
lain kode etik dan perilaku profesional AICPA
3.
Pendeteksian
atas penipuan dalam laporan keuangan dan komunikasinya
4.
Ketidakpatuhan
pembayaran pajak
5.
Perilaku
disfungsional spesifik dalam profesi akuntansi.
Studi Etis
Lintas Budaya
Sebagian besar studi yang
berhubungan dengan akntansi dan etika difokuskan kepada profesi akuntansi di
Amerika serikat. Perbedaan budaya mungkin muncul diantara kelompok profesi
akuntansi dari negara berbeda. Meskipun demikian, perbandingan antara profesi
akuntansi di Amerika Serikat dengan kelompok lain dapat memberikan pemahaman
yang berharga tentang penetapan standar organisasi internasional.
D.
IMPLIKASI BAGI RISET MENDATANG
Satu masalah menonjol yang masih
dihadapi oleh peneliti akuntansi dalam menyelidiki dimensi etika profesi
akuntansi berhubungn dengan keputusan apakah akan terus memperluas atau
menyatukan teori konflik dan ukuran dalam kerangka kerja pengambilan keputusan
etika empat komponen dari Rest.
Gaa misalnya, menekankan pentingnya
kemajuan diluar penjelasan ini dan menyampaikan penempatan kerangka kerja
teoretis kognisi moral yang spesifik bagi profesi akuntansi. Ia menyampaikan
bahwa kerangka kerja ini harus melibatkan pengakuan atas peranan akuntan dalam
masyarakat dan tanggung jawab mereka terhadap bermacam-macam pemangku
kepentingan, serta keahlian moral akuntan.
Dengan cara yang sama, Ponemon dan
Gabhart dalam bidang etika untuk auditor dan akuntan mengakui bahwa
keputusan-keputusan akuntan telah menjadi subjek dari bermacam-macam kelompok
konstituen termasuk organisasi klien yang menbayar pelayanan mereka, kantor
akuntan profesional di mana karyawan menjadi anggota akuntan, profesi akuntan
itu sendiri, dan publik umum (yang mengandalkan angka-angka dalam laporan
keuangan).
Tanggung jawab beragam ini (dan
sering kali bertentangan) menunjukkan bahwa proses resolusi konflik etika akuntan
mungkin tidak cukup sesuai dengan model pengambilan keputusan yang lebih umum
dari Rest. Meskipun demikian jika model Rest sahih untuk menjelaskan perilaku
etis akuntan, maka ukuran dan konflik yang bertentangan dalam menghubungkan
keempat komponen tersebut harus disatukan.
Dengan demikian, riset medatang
harus melanjutkan kemajuan di dua dimensi:
1.
Melanjutkan
integrasi model dan ukuran kognitif yang berbeda dalam model Rest
2.
Mengembangkan
sebuah model pengambilan keputusan etis kognitif yang khusus untuk profesi
akuntansi.
DAFTAR PUSTAKA
Ikhsan
Lubis Arfan. 2010. Akuntansi Keperilakuan
Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat.
www.google.com
mantap gan..
BalasHapus