Minggu, 15 September 2013

International Financial Reporting System (IFRS)



II. PEMBAHASAN
Tahun 2012 sudah di depan mata dan keharusan Indonesia untuk mengadopsi sistem pelaporan keuangan International Financial Reporting System (IFRS) tinggal menunggu hitungan minggu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam forum KTT G-20 tahun 2010 silam, sudah menjanjikan Indonesia akan mengadopsi IFRS secara penuh mulai 1 Januari 2012. Beberapa waktu lalu, Bank Dunia juga menyarankan agar Indonesia benar-benar siap menerapkan IFRS.
Tak mudah menerapkan IFRS. Penerapan IFRS tak ubahnya revolusi dalam sistem pelaporan keuangan di negeri ini. Ada banyak perbedaan mendasar antara IFRS dengan sistem yang berlaku sekarang. IFRS adalah sistem modern yang disusun International Accounting Standards Board yang berbasis di London. Saat ini, sudah lebih dari 100 negara di dunia yang menerapkan IFRS.
Jika Indonesia mengadopsi sistem ini secara penuh, maka bahasa keuangan kita akan sama dengan bahasa keuangan dunia. Perusahaan Indonesia bisa masuk bursa utama dunia tanpa harus mengubah lagi sistem pelaporan keuangannya. IFRS dapat meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan, meningkatkan kredibilitas laporan keuangan, menyelaraskan dengan aturan internasional, meningkatkan arus investasi ke dalam dan ke luar, serta memudahkan pemahaman atas laporan keuangan.
Sayangnya, sistem ini sangat kompleks dan mahal untuk diterapkan. IFRS juga bersifat cepat berubah. Makanya, para pelaku akuntasi dan kalangan pemeriksa di Indonesia-baik dari Ditjen Pajak, BPK, BPKP, KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan instansi lainnya-- perlu memiliki ketangkasan tersendiri untuk menerapkan dan mengadopsi IFRS.
Saat ini, masih tersisa banyak masalah jika IFRS diterapkan. Sosialisasi tentang IFRS, misalnya, belum digalakkan. Akibatnya, belum semua pemangku kepentingan merasa perlu mengatahui soal ini. Padahal, dampak penerapan IFRS tidak bisa diremehkan. Studi di Eropa menunjukkan, pemberlakuan IFRS membuat keuntungan perusahaan naik 45% namun ekuitas rata-ratanya turun 15%.
IFRS mengacu pada konsep fair value atau nilai wajar. Dalam sistem yang berlaku di Indonesia sekarang, teknik penilaian berdasarkan konsep historical value. Nah, nilai wajar belum tentu mencerminkan harga yang terjadi di masa lalu, tapi mencerminkan nilai ideal. Berbeda dengan nilai historis yang hanya dihitung sekali saat transaksi, nilai wajar musti ditentukan ulang secara berkala untuk memastikan angka yang mutakhir.
Akibat perubahan basis acuan dari historical value ke fair value, akan muncul implikasi terhadap kewajiban pajak. Perbedaan ini dapat mempengaruhi jumlah yang dikenakan pajak. Nah, jika dikotomi ini tidak segera dire-alignment, tentu akan menimbulkan pemahaman yang ambivalen. Selain itu, perpajakan di Indonesia menganut prinsip realisasi (contohnya: penghasilan dikenakan pajak saat diterimanya kas dari penghasilan tersebut). Padahal, IFRS berdasarkan azas akrual, sehingga penghasilan (atau beban) baru diakui saat terjadinya, dan belum tentu pada saat kas diterima atau dikeluarkan. Perbedaan ini dapat mempengaruhi saat suatu transaksi dikenakan pajak.
Memang, aparat pajak sudah mulai paham soal IFRS. Tapi, tanpa aturan hukum yang memadai, pengertian aparat pajak soal IFRS bisa menimbulkan spekulasi yang tidak perlu di kemudian hari. Harus dipikirkan pula dikotomi antara tujuan utama perpajakan, yakni mencapai target penerimaan negara yang tidak sama dengan tujuan IFRS yaitu menyajikan informasi keuangan yang relevan dan andal.
Yang harus diperhatikan lagi, interpretasi atas pedoman akuntansi IFRS diharapkan akan menimbulkan pengungkapan aktifitas usaha yang sesungguhnya. IFRS menuntut transparansi yang lebih dalam dibandingkan aturan pelaporan keuangan yang berlaku sekarang. Unsur-unsur yang harus dilaporkan lebih banyak bahkan meliputi informasi yang sensitif. Perusahaan, misalnya, harus mengungkap risiko risiko yang terkait dengan piutang, investasi, produk derivatif dan aset atau liabilitas keuangan lainnya. Risiko yang harus diungkapkan secara transparan mencakup risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko pasar dari aset dan liabilitas tersebut. Di sini, peran manajemen risiko dan internal audit harus diasah terus kemampuannya
IFRS juga menganut azas principle base. Jadi, semua elemen manajemen harus memahami IFRS secara utuh. IFRS akan sering meminta profesional judgment ketika melengkapi laporan. Itu sebabnya, fungsi komisaris tidak lagi hanya memberikan advis kepada direksi, tapi juga harus paham laporan keuangan. Gesekan pemahaman, bisa saja terjadi dan inilah pekerjaan rumah yang besar dalam menyiapkan adopsi IFRS di tahun 2012 secara utuh.
Persoalan lain, batasan tentang makna profesional judgement di Indonesia sangatlah sumir. Infrastruktur hukum belum memiliki keberpihakan kepada pelaku bisnis terlebih manajemen BUMN ketika memeberikan "profesional judgement". Dalam hal ini, government will diperlukan untuk menjamin pelaku bisnis BUMN dapat menjalankan putusan atas laporan keuangan yang berbasis IFRS tanpa takut dinilai melanggar aturan.
Jika pihak eksternal perusahaan (misalnya pajak, aparat hukum, auditor negara, atau politisi) tidak siap, maka itu bisa menyulitkan kalangan perusahaan. Ambil contoh: soal pencadangan atas piutang ragu-ragu. Mengingat IFRS menganut nilai wajar, maka bila ada suatu utang yang diklasifikasikan meragukan, perusahaan harus segera menyiapkan pencadangan penuh-dan menghapuskan catatan utang itu. Padahal, aturan yang berlaku sekarang amat sulit mengesahkan soal penghapusan piutang. Apa yang akan terjadi jika BUMN menghapuskan catatan utang itu berdasarkan IFRS? Bisa jadi nanti muncul dugaan bahwa tindakan tersebut adalah pidana atau bahkan merugikan keuangan negara.
Kalau sudah begini, tidak bisa tidak, pemerintah sebaiknya memebrikan dasar hukum yang jelas dalam penerapan IFRS. Sudah sepatutunya jika implementasi IFRS mendapatkan pengawalan dan legal framework yang memadai . Aturan hukum itu diperlukan untuk mejamin semua kalangan tidak terjerumus pada situasi rancu dari penerapan IFRS itu tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar