II. PEMBAHASAN
Tahun 2012 sudah di depan mata dan keharusan Indonesia untuk
mengadopsi sistem pelaporan keuangan International Financial Reporting
System (IFRS) tinggal menunggu hitungan minggu. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, dalam forum KTT G-20 tahun 2010 silam, sudah menjanjikan Indonesia
akan mengadopsi IFRS secara penuh mulai 1 Januari 2012. Beberapa waktu lalu,
Bank Dunia juga menyarankan agar Indonesia benar-benar siap menerapkan IFRS.
Tak mudah menerapkan IFRS. Penerapan IFRS tak ubahnya
revolusi dalam sistem pelaporan keuangan di negeri ini. Ada banyak perbedaan
mendasar antara IFRS dengan sistem yang berlaku sekarang. IFRS adalah sistem
modern yang disusun International Accounting Standards Board yang
berbasis di London. Saat ini, sudah lebih dari 100 negara di dunia yang
menerapkan IFRS.
Jika Indonesia mengadopsi sistem ini secara penuh, maka
bahasa keuangan kita akan sama dengan bahasa keuangan dunia. Perusahaan
Indonesia bisa masuk bursa utama dunia tanpa harus mengubah lagi sistem
pelaporan keuangannya. IFRS dapat meningkatkan kualitas standar akuntansi
keuangan, meningkatkan kredibilitas laporan keuangan, menyelaraskan dengan
aturan internasional, meningkatkan arus investasi ke dalam dan ke luar, serta
memudahkan pemahaman atas laporan keuangan.
Sayangnya, sistem ini sangat kompleks dan mahal untuk
diterapkan. IFRS juga bersifat cepat berubah. Makanya, para pelaku akuntasi dan
kalangan pemeriksa di Indonesia-baik dari Ditjen Pajak, BPK, BPKP, KPK,
Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan instansi lainnya-- perlu memiliki ketangkasan
tersendiri untuk menerapkan dan mengadopsi IFRS.
Saat ini, masih tersisa banyak masalah jika IFRS diterapkan.
Sosialisasi tentang IFRS, misalnya, belum digalakkan. Akibatnya, belum semua
pemangku kepentingan merasa perlu mengatahui soal ini. Padahal, dampak
penerapan IFRS tidak bisa diremehkan. Studi di Eropa menunjukkan, pemberlakuan
IFRS membuat keuntungan perusahaan naik 45% namun ekuitas rata-ratanya turun
15%.
IFRS mengacu pada konsep fair value atau nilai wajar.
Dalam sistem yang berlaku di Indonesia sekarang, teknik penilaian berdasarkan
konsep historical value. Nah, nilai wajar belum tentu mencerminkan harga
yang terjadi di masa lalu, tapi mencerminkan nilai ideal. Berbeda dengan nilai
historis yang hanya dihitung sekali saat transaksi, nilai wajar musti
ditentukan ulang secara berkala untuk memastikan angka yang mutakhir.
Akibat perubahan basis acuan dari historical value ke
fair value, akan muncul implikasi terhadap kewajiban pajak. Perbedaan
ini dapat mempengaruhi jumlah yang dikenakan pajak. Nah, jika dikotomi ini
tidak segera dire-alignment, tentu akan menimbulkan pemahaman yang
ambivalen. Selain itu, perpajakan di Indonesia menganut prinsip realisasi
(contohnya: penghasilan dikenakan pajak saat diterimanya kas dari penghasilan
tersebut). Padahal, IFRS berdasarkan azas akrual, sehingga penghasilan (atau
beban) baru diakui saat terjadinya, dan belum tentu pada saat kas diterima atau
dikeluarkan. Perbedaan ini dapat mempengaruhi saat suatu transaksi dikenakan
pajak.
Memang, aparat pajak sudah mulai paham soal IFRS. Tapi,
tanpa aturan hukum yang memadai, pengertian aparat pajak soal IFRS bisa
menimbulkan spekulasi yang tidak perlu di kemudian hari. Harus dipikirkan pula
dikotomi antara tujuan utama perpajakan, yakni mencapai target penerimaan
negara yang tidak sama dengan tujuan IFRS yaitu menyajikan informasi keuangan
yang relevan dan andal.
Yang harus diperhatikan lagi, interpretasi atas pedoman
akuntansi IFRS diharapkan akan menimbulkan pengungkapan aktifitas usaha yang
sesungguhnya. IFRS menuntut transparansi yang lebih dalam dibandingkan aturan
pelaporan keuangan yang berlaku sekarang. Unsur-unsur yang harus dilaporkan
lebih banyak bahkan meliputi informasi yang sensitif. Perusahaan, misalnya,
harus mengungkap risiko risiko yang terkait dengan piutang, investasi, produk
derivatif dan aset atau liabilitas keuangan lainnya. Risiko yang harus
diungkapkan secara transparan mencakup risiko kredit, risiko likuiditas dan
risiko pasar dari aset dan liabilitas tersebut. Di sini, peran manajemen risiko
dan internal audit harus diasah terus kemampuannya
IFRS juga menganut azas principle base. Jadi, semua
elemen manajemen harus memahami IFRS secara utuh. IFRS akan sering meminta profesional
judgment ketika melengkapi laporan. Itu sebabnya, fungsi komisaris tidak
lagi hanya memberikan advis kepada direksi, tapi juga harus paham laporan
keuangan. Gesekan pemahaman, bisa saja terjadi dan inilah pekerjaan rumah yang
besar dalam menyiapkan adopsi IFRS di tahun 2012 secara utuh.
Persoalan lain, batasan tentang makna profesional
judgement di Indonesia sangatlah sumir. Infrastruktur hukum belum memiliki
keberpihakan kepada pelaku bisnis terlebih manajemen BUMN ketika memeberikan
"profesional judgement". Dalam hal ini, government will
diperlukan untuk menjamin pelaku bisnis BUMN dapat menjalankan putusan atas
laporan keuangan yang berbasis IFRS tanpa takut dinilai melanggar aturan.
Jika pihak eksternal perusahaan (misalnya pajak, aparat
hukum, auditor negara, atau politisi) tidak siap, maka itu bisa menyulitkan
kalangan perusahaan. Ambil contoh: soal pencadangan atas piutang ragu-ragu.
Mengingat IFRS menganut nilai wajar, maka bila ada suatu utang yang
diklasifikasikan meragukan, perusahaan harus segera menyiapkan pencadangan
penuh-dan menghapuskan catatan utang itu. Padahal, aturan yang berlaku sekarang
amat sulit mengesahkan soal penghapusan piutang. Apa yang akan terjadi jika BUMN
menghapuskan catatan utang itu berdasarkan IFRS? Bisa jadi nanti muncul dugaan
bahwa tindakan tersebut adalah pidana atau bahkan merugikan keuangan negara.
Kalau sudah begini, tidak bisa tidak, pemerintah sebaiknya
memebrikan dasar hukum yang jelas dalam penerapan IFRS. Sudah sepatutunya jika
implementasi IFRS mendapatkan pengawalan dan legal framework yang
memadai . Aturan hukum itu diperlukan untuk mejamin semua kalangan tidak
terjerumus pada situasi rancu dari penerapan IFRS itu tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar