BAB
I
AL-HADITS
A.
Pengertian Al-Hadits
Hadits (bahasa
Arab:
الحديث, ejaan
KBBI:
Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam
agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.
Hadits
secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti
melaporkan/mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Menurut
istilah ulama ahli hadits.hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr),
sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah)
dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan
sunnah.
Kata
hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti
segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,maka
kata tersebut adalah kata benda
B.
Struktur Hadits
Secara
struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai
penutur) dan matan (redaksi):
1.Sanad/isnad
Sanad
ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh
penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab
hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu
riwayat.
Sebuah
hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi
dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi
jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat
hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi
yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya
ialah :
·
Keutuhan sanadnya
·
Jumlahnya
·
Perawi akhirnya
Sebenarnya,
penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan
di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi
mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
2.Matan
Matan
ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits
bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman
seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk
saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait
dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist
ialah: Ujung
sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, Matan hadist itu sendiri dalam
hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang
melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah
ada yang bertolak belakang).
C. Klasifikasi Hadits
Hadits
dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung
sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian
hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)
1. Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan
klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat),
mauquf (terhenti) dan maqtu' :
·
Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung
pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
·
Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para
sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara
perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab
·
Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek
adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan
sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang
untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah"
maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
·
Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para
Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam
Muslim
meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan:
"Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana
kamu mengambil agamamu".
2. Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan
sanad
Berdasarkan
klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad,
Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal
·
Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan
sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni
urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan
kondisi.
·
Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan
kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh:
seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia
menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
·
Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur
yakni penutur 4 atau 3
·
Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur
berturut-turut.
·
Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga
penutur 1 (Contoh: "Seorang
pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah
mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga
Rasulullah).
3. Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah
penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad,
atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut.
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits
Ahad.
·
Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa
mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir
memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah)
berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad
minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan
sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni
mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada
redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
·
Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang
namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas
tiga jenis antara lain :
o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur
sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan
lain terdapat banyak penutur)
o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad
(dua penutur pada salah satu lapisan)
o Mashur, bila terdapat lebih dari dua
jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak
mencapai derajat mutawatir.
4. Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi
tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan
kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut.
Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih,
hasan, da'if dan maudu'. Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada
suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
·
Sanadnya bersambung; diriwayatkan oleh penutur/perawi yg
adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga
muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
·
Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz)
serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
·
Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya
tidak syadz serta cacat.
·
Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak
bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung
kejanggalan atau cacat.
·
Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan
karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
BAB II
Al-Qur`an adalah firman Allah. Muncul
dari zat-Nya dalam bentuk perkataan yang tidak dapat digambarkan. Diturunkan
kepada Rasul-Nya dalam bentuk wahyu. Orang-orang mukmin mengimaninya dengan
keimanan yang sebenar-benarnya. Mereka beriman tanpa keraguan, bahwa Alquran
adalah firman Allah dengan sebenarnya. Bukan ciptaan-Nya, seperti layaknya
perkataan makhluk, barang siapa mendengarnya dan menganggap sebagai perkataan manusia,
maka ia telah kafir.
Sungguh ayat-ayat Alquran ini sangat
cermat dan teliti, jelas dan terperinci, yang telah ditetapkan oleh yang Maha
Bijaksana, dan yang telah diuraikan oleh yang Maha Tahu. Kitab ini akan terus
menjadi mukjizat dari segi keindahan bahasa, syariat, ilmu pengetahuan, sejarah
dan lain sebagainya. Sampai Allah mengambil kembali bumi dan yang ada di
dalamnya, tidak akan terdapat sedikitpun penyelewengan dan perobahan
terhadapnya,
Dunia secara keseluruhan belum pernah
memperoleh sebuah kitab seperti Al Quran yang mulia ini, yang mencakup segala
kebaikan, dan memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus, serta mencakup
semua hal yang akan membahagiakan manusia.
Dengan Alquran, Allah telah membukakan
mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang lalai. Bila dibaca dengan
benar, dipahami setiap surat dan ayat-ayatnya, dipahami secara mendalam setiap
kalimat dan kata-katanya, tidak keluar dari batas-batasnya, melaksanakan
perintah-perintah yang ada di dalamnya, menjauhi larangan-larangan, berakhlak
dengan apa yang disyariatkan, dan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai terhadap
dirinya, keluarga dan masyarakatnya, maka akan menjadikan umat Islam merasa
aman, tenteram dan bahagia di dunia dan akhirat.
Makhluk jin sangat terkesan sekali
tatkala mendengarkan bacaan Alquran; hati mereka dipenuhi dengan kecintaan dan
penghargaan terhadapnya, dan mereka bersegera mengajak kaumnya untuk
mengikutinya, Para ulama tafsir berkata: “Al Quran lebih unggul dari
kitab-kitab samawi lainnya sekalipun semuanya turun dari Allah, dengan beberapa
hal, diantaranya: jumlah suratnya lebih banyak dari yang ada pada semua
kitab-kitab yang lain.
Telah disebutkan dalam sebuah hadis
bahwa Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam diberi kekhususan dengan
surat Al-Faatihah dan penutup surat Al-Baqarah. Di dalam Musnad Ad Darimi
disebutkan, dari Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Sesungguhnya Assab’uthiwal (Tujuh surat panjang dalam Alquran; Al-Baqarah, Ali
,Imran, An-Nisaa`, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al-Maa-idah dan Yunus) sama seperti
taurat, Al-Mi`in (Surat-surat yang berisi kira-kira seratus ayat lebih, seperti
Hud, Yusuf, Mu,min dan lain sebagainya) sama seperti Zabur dan Al-Matsani
(Surat-surat yang berisi kurang dari seratus ayat. Seperti, Al-Anfaal, Al-Hijr
dan lain sebagainya) sama dengan kitab Zabur. Dan sisanya merupakan tambahan”.
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani, dari Wasilah bin Al-Asqa’, bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah diturunkan kepadaku
Assab’uthiwal sebagai ganti yang ada pada Taurat. Diturunkan kepadaku Al Mi`in
sebagai ganti yang ada pada Zabur. Diturunkan kepadaku Al Matsani sebagai ganti
yang ada pada Injil, dan aku diberi tambahan dengan Al Mufashshal (surat-surat
pendek).”
Assab’uthiwal, adalah dari awal surat
Al-Baqarah hingga akhir surat Al-A’raaf, yang berjumlah enam surat. Para ulama
berselisih pendapat tentang surat yang ke tujuh; Apakah surat Al-Anfaal dan
Al-Bara`ah sekaligus karena antara keduanya tidak dipisah dengan bismillah,
maka dianggap satu surat, atau surat Yunus? “Al-Mi`un” yaitu surat-surat yang
ayatnya sekitar atau lebih dari seratus. “Matsani” yaitu; surat-surat yang
jumlah ayatnya di bawah seratus. Dinamakan demikian karena ayat-ayatnya
berulang-ulang melebihi yang ada pada surat-surat yang terhimpun dalam
sab’uthiwal dan mi`un. Sedangkan yang dimaksud dengan “Al-mufashal”, adalah
surat-surat yang lebih pendek dari surat-surat dalam Al-Matsani. Para ulama
berselisih pendapat tentang awal dari surat-surat itu; Ada yang berpendapat
bahwa Al-Mufashal bermula dari awal surat Ash-Shaffaat, pendapat lain
mengatakan, diawali dari surat Al-Fat-h, dan yang lainnya berpendapat, dari
surat Al-Hujuraat, dan ada juga yang berpendapat, dari surat Qaaf. Pendapat ini
dibenarkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Ada pula pendapat selain
yang disebut di atas. Namun demikian para ulama sepakat bahwa akhir dari
Mufashal adalah surat terakhir dalam Alquran.
Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya,
Fadhailul Quran (keutamaan-keutamaan Al Quran) halaman:102-123, mengatakan:
“Hal ini mereka raih berkat Al Quran yang agung, yang mana Allah telah
memuliakannya dari semua kitab yang pernah diturunkan-Nya, dan Dia jadikan
sebagai batu ujian, penghapus dan penutup bagi kitab-kitab sebelumnya, karena
semua kitab terdahulu diturunkan ke bumi dengan sekaligus, sedangkan Al Quran
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang terjadi, demi
untuk menjaganya dan menghargai orang yang diberi wahyu. Setiap kali ayat
Alquran turun, seperti keadaan turunnya kitab-kitab sebelumnya”.
Kaum muslimin hendaknya mempelajari
ilmu-ilmu alam, serta menikmati manfaat dari kekuatan-kekuatan yang tersimpan
di langit dan bumi. Sesungguhnya pembicaraan tentang Al Quran tidak akan ada
habis-habisnya. Al Quranlah yang menganjurkan kaum muslimin untuk bersikap adil
dan bermusyawarah, dan menanamkan kepada mereka kebencian terhadap kezaliman
dan tindakan semena-mena. Syiar para pemeluknya adalah kekuatan iman, tidak
sombong, solidaritas dan bersikap kasih sayang antara sesama mereka.
Karena itu Allah iringi amalan membaca
Al Quran dengan mendirikan salat, menafkahkan sebagian rezki yang dikarunia
Allah secara diam-diam dan terang-terangan, kemudian dengan demikian
orang-orang yang membaca Al Quran itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan
merugi. Mereka mengetahui bahwa karunia Allah lebih baik dari apa yang mereka
infakkan. Oleh karena mereka mengadakan perniagaan di mana Allah menambahkan
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih,
mengampuni kelalaian, dan berterima kasih atas pelaksanaan tugas.
Sabda Rasul dalam hadis ini, “Tidaklah
suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah”, “Rumah” di sini bukanlah batas,
terbukti dengan sebuah hadis riwayat Muslim yang lain yang mengatakan:
“Tidaklah suatu kaum berzikir kepada Allah, melainkan akan diliputi oleh para
malaikat….” Jika berkumpul di tempat lain, selain rumah Allah (masjid) maka
bagi mereka keutamaan yang sama dengan mereka yang berkumpul di masjid.
Pembatasan “di rumah Allah” dalam hadis di atas, hanyalah karena seringnya
tempat itu dijadikan tempat berkumpul, akan tetapi tidak ada keharusan;
Berkumpul untuk membaca dan mempelajari ayat-ayat Alquran dan kandungan
hukumnya, di mana pun tempatnya akan mendapatkan keutamaan yang sama. Adapun
jika berkumpul untuk belajar di masjid lebih utama, hal itu dikarenakan masjid
mempunyai keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh tempat yang
lain.
Diriwayatkan oleh ibnu Masud
radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa membaca satu huruf dari Alquran, maka ia akan memperoleh
kebaikan. Kebaikan itu berlipat sepuluh kali. Aku tidak mengatakan, Alif Laam
Miim satu huruf, akan tetapi, Alif adalah huruf, Lam huruf, dan Mim huruf. (H.
R. Tirmizi. Nomor:3075).
Dari Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu
dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ia bersabda; “Sebaik-baik kalian adalah
yang belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain”.(Bukhari).
Nomor:4739). Hadis ini menunjukkan akan keutamaan membaca Alquran.
Suatu ketika Sufyan Tsauri ditanya,
manakah yang engkau cintai orang yang berperang atau yang membaca Alquran? Ia
berkata, membaca Alquran, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya
kepada orang lain”. Imam Abu Abdurrahman As-Sulami tetap mengajarkan Alquran
selama empat puluh tahun di masjid agung Kufah disebabkan karena ia telah
mendengar hadis ini. Setiap kali ia meriwayatkan hadis ini, selalu berkata:
“Inilah yang mendudukkan aku di kursi ini”.
Al hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya
Fadhail Quran halaman 126-127 berkata: [Maksud dari sabda Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam; "Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran
dan mengajarkan kepada orang lain" adalah, bahwa ini sifat-sifat
orang-orang mukmin yang mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka telah
menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain. Hal itu merupakan
gabungan antara manfaat yang terbatas untuk diri mereka dan yang menular kepada
orang lain.
Dari Abdullah Ibnu Masud radhiyallahu
‘anhu ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: ”
Bacakan Alquran kepadaku”. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Aku harus
membacakan Alquran kepada Anda, sedangkan kepada Andalah Alquran itu
diturunkan?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku
senang bila mendengarkan dari orang selainku.” Aku lalu bacakan surat An
Nisaa`. Ketika sampai pada firman yang berbunyi: فَكَيْفَإِذَاجِئْنَامِنكُلِّأمَّةٍبِشَهِيدٍوَجِئْنَابِكَعَلَىهَـؤُلاءشَهِيدًا
(Maka bagaimanakah
“halnya orang kafir nanti”, jika Kami mendatangkan seorang saksi “rasul” dari
tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu “Muhammad” sebagai saksi atas mereka
itu “umatmu”).
Beliau berkata: “Cukup”, lalu aku menoleh
kepada beliau, tiba-tiba aku lihat beliau mencucurkan air mata. (H.R.
Bukhari nomor:4582, Muslim nomor:800 dan Abu Daud Nomor:3668).
Imam Nawawi berkomentar: [Ada beberapa
hal yang dapat dipetik dari hadis ini, di antaranya: sunat hukumnya
mendengarkan bacaan Alquran, merenungi, dan menangis ketika mendengarnya, dan
sunat hukumnya seseorang meminta kepada orang lain untuk membaca Al Quran agar
dia mendengarkannya, dan cara ini lebih mantap untuk memahami dan mentadabburi
Al Quran, dibandingkan dengan membaca sendiri].
Setiap orang muslim hendaknya tahu akan
hak-hak Alquran; menjaga kesuciannya, komitmen terhadap batas-batas yang telah
ditetapkan oleh agama saat mendengarkan bacaannya, dan meneladani para salaf
(pendahulu) saleh dalam membaca dan mendengarkannya. Sungguh mereka itu
bagaikan matahari yang menerangi dan dapat diteladani dalam kekhusyukan yang
sempurna dan meresapi, mengimani firman Allah:
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ . نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ . عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ . بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِين
“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.(Asy-Syu’ara:192-195).
Memang benar adanya, bahwa Alquran,
baik lafal maupun makna adalah firman Allah, yang merupakan sistem dari langit
untuk seluruh makhluk, khususnya manusia. Selain itu ia merupakan rujukan utama
perkara-perkara agama dan sandaran hukum. Hukum-hukum yang ada di dalamnya
tidaklah diturunkan sekaligus, akan tetapi diturunkan secara berangsur selama
masa kerasulan; ada yang turun untuk menguatkan dan memperkokoh pendirian Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam, ada yang turun mendidik umat yang baru saja tumbuh
dan ada pula yang diturunkan oleh karena peristiwa keseharian yang dialami oleh
umat Islam di tempat dan waktu yang berbeda-beda. Setiap kali ada peristiwa,
turunlah ayat Alquran yang sesuai dan menjelaskan hukum Allah atas peristiwa
itu. Di antaranya adalah kasus-kasus dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat
Islam, pada masa pensyariatan hukum, di mana umat Islam ingin mengetahui
hukumnya, maka turunlah ayat yang menjelaskan hukum Allah, seperti larangan
minuman keras.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam
datang ke Madinah dan mendapati orang-orang meminum minuman keras, dan makan
dari hasil berjudi. Lalu mereka bertanya kepada Rasul shalallahu ‘alaihi
wasallam tentang masalah itu, maka Allah menurunkan ayat:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.(Al-Baqarah:219)
Lalu orang-orang berkata: “Tidak
diharamkan, hanya saja pada keduanya dosa yang besar”. Selanjutnya mereka masih
juga banyak yang minum khamar (minuman keras), sampai pada suatu hari, seorang
dari Kaum Muhajirin mengimami sahabat-sahabatnya pada shalat Magrib. Bacaannya
campur aduk antara satu dengan yang lain, sehingga Allah menurunkan ayat
Alquran yang lebih keras dari ayat sebelumnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ ا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan”.(An-Nisaa,:43).
Akan tetapi, Orang-orang masih juga
banyak yang meminum minuman keras, hingga salah seorang melakukan salat dalam
keadaan mabuk. Lalu turunlah ayat Alquran yang lebih keras lagi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan”.(Al-Maa-idah:90)
Mereka berkata: “Kami tidak akan
melakukannya lagi wahai Tuhan!” Lalu orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah
banyak orang yang terbunuh di jalan Allah, atau mati di atas kasurnya, padahal
mereka telah meminum khamar dan makan dari hasil perjudian, sedangkan Allah
telah menjadikan keduanya, najis yang merupakan perbuatan setan”.
Maka turunlah ayat:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُواْ إِذَا مَا اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّأَحْسَنُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah
mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian
mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebaikan. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan”.(Al-Maa-idah:93)
Nabi bersabda: “Jika diharamkan atas
mereka sebelumnya, niscaya mereka akan meninggalkannya sebagaimana halnya
kalian meninggalkan.(Musnad Ahmad 2/251 dan 252).
Dalam sahih Bukhari, hadis nomor:4620,
disebutkan, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Dulu aku pernah
jadi penyuguh minuman (khamar) di rumah Abu Thalhah, dan turunlah ayat
pengharaman minuman keras. Lalu diutuslah seseorang untuk menyerukan larangan
ini. Abu Thalhah berkata, “Keluarlah dan lihat suara apakah itu”. Lalu aku
keluar, dan aku berkata: “Sungguh minuman keras telah diharamkan”. Ia berkata
kepadaku: “Pergi, dan tumpahkanlah”. Anas berkata: “Aku pun keluar dan
menuangkannya. Saat itu khamar mengalir di jalan-jalan Madinah.” Anas berkata:
“Jenis khamar pada saat itu adalah yang terbuat dari kurma.” Sebagian orang berkata:
“Telah banyak yang terbunuh, sedangkan minuman itu ada di dalam perut mereka”.
Ia berkata, lalu turunlah ayat: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amalan saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan
dahulu”.
Dari yang disebutkan di atas, kita
mengetahui bahwa larangan meminum khamar (minuman keras) terjadi dalam tiga
tahap, yaitu ketika turun surat Al-Baqarah: “Mereka bertanya kepadamu tentang
khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
Ayat ini mengandung larangan meminum
minuman keras dengan cara yang halus. Maka yang meninggalkannya ketika itu
hanya sekelompok orang yang tingkat ketakwaan mereka sangat tinggi. Umar
radhiyallahu ‘anhu berkata, Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang
hukum meminum minuman keras. Lalu turunlah ayat yang berbunyi: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga
kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Lalu umat Islam menghindari untuk
meminumnya pada waktu-waktu mendekati shalat. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,
Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang minuman keras. Maka
turunlah surat Al-Maa-idah: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan, Sesungguhnya setan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Saat itulah ketika diserukan dan
dibacakan ayat ini, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami berhenti (dari
melakukannya)”. Demikianlah proses pensyariatan yang bertahap, di mana Allah
menyucikan umat Islam dari adat istiadat yang bertentangan dengan sistem Islam,
dan melengkapi mereka dengan sifat-sifat yang mulia, seperti: pemaaf, penyabar,
kasih sayang, jujur, menghormati tetangga, berlaku adil dan perbuatan baik yang
lain.
Hanya Allah semata yang menetapkan syariat untuk para
hambanya. Allah berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan
yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” (Al-An,am:57).
Syariat itu ditetapkan tiada lain
kecuali hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, baik hikmah yang
terkandung di dalamnya tampak atau pun tidak. Alquran adalah sumber pertama
syariat.
Adapun sumber kedua adalah sunah, dan
tidak ada perselisihan antara para ulama bahwa sunah merupakan hujah dalam
syariat di samping Alquran. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan
Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.(An-Nisaa,:59).
Dalam
ayat yang lain Allah berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.(An-Nahl:44).
Dan firman Allah:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.(Al-Hasyr:7)
Imam Ibnu Qayimil Jauziah dalam bukunya
“A’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabil Alamin”, halaman, 263, menjelaskan tentang peran
sunah terhadap Alquran, ia berkata: “Peran sunah terhadap Alquran ada tiga:
Pertama: Mempunyai maksud sama dengan Alquran dilihat dari semua segi. Sehingga
masing-masing ayat Alquran dan hadis Nabi yang sama-sama menunjukkan kepada
hukum yang sama termasuk dalam kategori suatu yang hukum mempunyai lebih dari
satu dalil. Kedua: Menjelaskan maksud dari Alquran dan penafsirannya. Ketiga:
Menetapkan suatu hukum, wajib atau haram, yang tidak ada terdapat dalam Al
Quran. Peran itu tidak keluar dari tiga hal ini dan tidak ada pertentangan sama
sekali antara Alquran dan sunah.
Oleh karenanya, sunah menegaskan suatu
hukum dari Alquran, kadang kala ia menafsirkan teks Alquran atau menguraikan
hukum yang dijelaskan secara ringkas dalam Alquran, bahkan juga menetapkan
suatu hukum yang tidak disebutkan dalam Alquran. Namun demikian sunah tidak
menetapkan sebuah hukum, kecuali bila di dalam Alquran tidak diketemukan hukum
yang dimaksud. Sunahlah yang menjelaskan kepada kita -umat Islam- bahwa salat
yang diwajibkan adalah lima kali sehari semalam, darinya juga diketahui jumlah
rakaat dalam salat dan rukun-rukunnya, menjelaskan hakikat zakat, dan ke mana
disalurkan serta berapa nisabnya. Maka bagi mereka yang hanya berpegang
terhadap Alquran dengan meninggalkan sunah, hendaknya segera memperbaharui
keimanannya dan segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah
berfirman:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang
bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang
benar.(Thaha:82).
Alquran dan Sunah, kedua-duanya
merupakan wahyu Allah kepada Rasul-Nya, dan dua sumber syariat Islam yang
mengembalikan manusia pada fitrahnya, dan menjadikan manusia mengetahui jalan
hidupnya. Allah berfirman:
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَـذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللّهُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada
(surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah
tidak memberi kami petunjuk”.(Al-A’raaf:43).
BAB III
JENIS HADITS
1.
Hadits Shohih (Sah/benar/sehat)
Menurut
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih
adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna
ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Dalam
kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits
shahih itu adalah hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan
maknanya selamat dari menyalahi ayat Qur’an.
2.
Hadits Hasan (Bagus/Baik)
Al-Khathabi,
hadits hasan adalah hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat, para perawinya
masyhur, menjadi tempat beredarnya hadits, diterima oleh banyak ulama, dan
digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
3.
Hadits Dho’if (Lemah)
Hadits
dho’if
adalah setiap hadits yang mardud (tertolak) yang tidak memenuhi syarat hadits
shahih atau hadits hasan. Boleh jadi hadits tersebut terputus sanadnya,
terdapat perowi yang tidak ‘adl (tidak sholih), sering berdusta, dituduh dusta,
sering keliru, atau hadits tersebut memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi)
atau riwayatnya menyelisihi riwayat perowi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya)
darinya.
4.
Hadits Marfu’ (Semua sanadnya bersandar kepada Rasulullah Saw)
Hadits marfu adalah hadits yang khusus disandarkan kepada
Nabi saw berupa perkataan, perbuatan atau taqrir beliau; baik yang
menyandarkannya sahabat, tabi’in atau yang lain; baik sanad hadits itu
bersambung atau terputus.
5.
Hadits Mushahhaf (Kesalahan terjadi pada catatan / bacaannya)
adalah hadist yang mukhalafahnya karena perubahan
titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
6.
Hadits Muttasil (Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw)
Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh
masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya,
baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf.
7. Hadits Mauquf (Sanadnya boleh jadi bersambung,
boleh jadi terputus)
Al-Mauquf
berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi
menghentikan sebuah hadits pada shahabat.
Hadits
Mauquf
menurut istilah adalah “perkataan, atau perbuatan, atau taqrir
yang disandarkan kepada seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
baik yangbersambung sanadnya kepada Nabi ataupun tidak bersambung.
8. Hadits Mun-qoti’ (Dho’if, karena terputus sanadnya)
Munqathi' menurut
bahasa merupakan isim fa'il yang berarti terputus; lawan dari kata Muttashi;
(bersambung). Sedangkan menurut istilah, para ulama terdahulu mendefiniskannya
sebagai : "Hadits yang sanadnya tidak bersambung dari semua sisi". Ini
berarti bahwa sanad hadits yang terputus, baik dari awal sanad, atau tengah,
atau akhirnya, maka menjadi hadits yang munqathi'. Dengan definisi ini, maka
hadits munqathi' meliputi mursal, mu'allaq, dan mu'dlal.
9. Hadits Mursal (Dho’if dan Mardud)
Mursal menurut
bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal
menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in.
Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
10. Hadits Mu’allal (Terselubung cacatnya / merusak keshohihan Hadits)
11. Hadits Ghorib (Yang menyendiri)
12. Hadits Masyhur (Nyata)
13. Hadits Mudallas (Gelap / Menyembunyikan cacat dalam sanad)
14. Hadits Mutawatir (Berturut Sanadnya)
15. Hadits Syadz (Bertentangan)
16. Hadits Mudraj (Ada tambahan, yang bukan bagian dari Hadits)
17. Hadits Maqlub (Dho’if. Karena ada pergantian lafaz)
18. Hadits Mudhtorib (Rusak susunan)
19. Hadits Mu’adhal (Menggugurkan dua Perawi aslinya)(Hukumnya Dho’if)
20. Hadits Matruk (Dho’if yang paling buruk. Perawinya tertuduh Pendusta)
21. Hadits Maudhu’ (Palsu. Kebohongan yang diciptakan dan disandarkan kepada Rasul Saw)
22. Hadits Munkar (Cacat dan Palsu perawinya kedapatan berbuat Fasiq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar